Perihal segala kata, tanya dan sapa yang hanya berputar-putar di kepala dan terkubur dalam hati.
Malam semakin larut, tapi dua insan ini tak jua mengakhiri pertemuannya. Pertemuan yang dicambuk oleh rindu. Seolah mereka mampu mengutuk waktu untuk diam dan berhenti (walau sejenak).
Dua sejoli ini duduk berhadapan, hanya dipisahkan oleh satu meja bundar yang jaraknya tak terlalu membuat mereka menjauh. Sang lelaki itu bersandar pada kursi, sembari masih memperhatikan tiap detail paras perempuan yang hadir dihadapannya. Sedang perempuan yang diperhatikan itu, hanya mampu menggenggam gelas kopi yang sudah kosong --hanya tersisa ampasnya. Seolah begitu banyak pikiran-pikiran liar yang membuatnya gelisah.
"Sepertinya di semester 7 ini, nilaiku menurun. Buruk." Ucap lelaki bertubuh tinggi, berhidung mancung, memiliki kulit yang putih, dengan model rambut cepak dan berperangai baik itu.
"Kenapa bisa seperti itu?" Kata perempuan yang pandangannya masih saja tertuju pada gelas kosongnya.
"Entah, kali ini pikiranku terbagi."
"Terbagi? Bagaimana pikiranmu bisa bercabang?"
"Menurutmu, hal apa yang bisa membuat pikiranku menjalar dan bercabang seperti saat ini?"
"Mana aku tahu, aku bukan peramal."
"Akhir-akhir ini kau membosankan. Tak seasyik dulu." Tegas lelaki itu. Kini, ia memajukan tubuhnya. Tak lagi bersandar pada kursinya. Hingga tatapannya semakin jelas tertuju pada perempuan berambut panjang sebahu itu.
"Sudah tahu aku ini membosankan. Mengapa juga masih mengajakku untuk bertemu?"
"Menurutmu, apa yang membuatku selalu ingin bertemu dengan perempuan yang selalu bergelut dengan tulisan, cerita dan prosa-prosanya itu?"
"....." Perempuan itu terdiam. Tak mampu berucap sepatah kata pun.
"Sampai kapan kau mau diam seperti ini? Apakah, sampai semuanya berubah meski tanpa kau sadari?"
"......"
"Ayolah, utarakan apa yang kau rasa. Semanis atau segetir apapun itu. Katakan padaku."
"Apa pedulimu?"
"Apa peduliku, katamu?!"
"Jangan ketus seperti itu padaku." Pinta perempuan yang bingung dengan keinginannya sendiri.
"Kau. Selalu bisa membolak balikkan perasaan ini. Dengan berbagai cara yang kau punya. Terkadang, kau membuatku merasa seperti seseorang yang sangat berarti. Kadang pula aku takut, dengan sikapmu yang tiba-tiba acuh. Seakan tak butuh kehadiranku disisimu.
"Maaf, bukan maksud mempermainkan. Tapi, aku juga tak paham betul perihal perasaanku."
"Kau meragu?"
"Perihal apa?"
"Perihal perasaanmu. Perasaanmu yang mana? Perasaanmu pada siapa? Untuk siapa? Katakan Estu!"
"Damar, apa kau pernah jatuh cinta?"
"Jatuh cinta? Entahlah, untuk saat ini aku masih bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah benar, semua ini cinta. Atau hanya penasaran semata pada sosok yang selalu sesuka hati datang dan pergi dalam khayalku."
"Siapa, perempuan itu? Perempuan yang mengambil alih pikiranmu?!"
"Menurutmu, siapa?!"
"Mana aku tahu, kau pikir aku peramal?" Rasa ingin tahunya memuncak dalam dada.
"Hahaha. Kau, tak pernah menjawab setiap pertanyaanku dengan benar."
"Aku ingin kopi." Ucap perempuan itu.
"Gila. Kau selalu mengalihkan apapun pada minuman hitam pekat itu."
"Aku ingin memesan kopi lagi!"
"Baiklah Nona, akan ku pesankan. Kau tunggu sebentar." Beranjak dari tempat duduknya menuju ke meja barista yang sedang sibuk melayani tamu kedai yang lainnya.
Pikiran perempuan ini melayang entah kemana. Berkecambuk di dalam. Merobek-robek dinding hatinya, menuju hati terdalam. Dimana seseorang yang benar ia cintai. Lelaki itu atau seseorang yang saat ini sedang berada dihadapannya?
Masih, misteri. Apa yang akan ia jelaskan selanjutnya, apa yang harus ia katakan padanya. Harus mulai dari mana ia membahas perihal takdir cintanya. Cinta, menjadi satu tanda tanya besar dalam hidupnya. Setidaknya hingga saat ini. Entah, apa yang terjadi esok. Apakah masih ia bertanya-tanya soal cinta?
"Ini, minumlah!" Sembari menyodorkan segelas kopi yang terisi penuh pada perempuan yang masih duduk dihadapannya itu.
"Terima kasih. Damar, apa mungkin kita bisa berkata jujur mengenai segala yang selama ini menjadi kerisauan di kepala?"
"Maksudmu? Kerisauan perihal apa, Estu?"
"Mengenai teman. Teman hidup." Jawab perempuan itu, dengan suara yang rendah.
"Kau berbicara mengenai pasangan hidup?"
"Tidak. Maksudku, mungkin iya."
Mereka berdua terdiam, tak jarang saling menatap satu sama lain. Angin malam yang berhembus dan menusuk tulang mereka pun, tak mereka hiraukan. Seolah keduanya mengumpulkan nyawa untuk mengatakan segala yang selama ini mengganjal dalam hatinya masing-masing. Tapi, apakah semuanya sesuai dengan apa yang mereka pikir dan bayangkan?
"Estu .." Meraih tangan kiri perempuan itu, menggenggamnya cukup erat.
"Apa yang akan kau lakukan?"
Tangan kanan lelaki itu, merogoh saku dibagian celananya. Terdapat benda berupa kotak kecil berwarna ungu muda persis seperti warna kesukaan perempuan itu. Entah apa yang terdapat didalamnya. Perlahan ia tunjukkan kotak kecilnya tepat di wajah perempuan itu. Lalu ia membukanya, didalamnya terdapat emas berbentuk lingkaran yang terukir nama Restu.
"Cincin?" Ucap perempuan yang sedang keheranan dengan tingkah lelaki yang telah ia kenal selama hampir 6 tahun itu.
"Iya. Aku rasa, ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Perihal perasaanku, perihal cinta juga masa depan yang ingin aku bagi dan jalani bersamamu."
"Maksudmu, kau melamar ku?"
"Anggap saja begitu. Apa kau mau, memakai benda yang mungkin menurutmu tak seberapa ini. Kau mau, menghabiskan sisa waktumu bersamaku. Apa kau bersedia, Estu?"
"emm ... Mengapa tak kau katakan sebelumnya?"
"Apa bedanya dengan sebelum atau sekarang? Bukankah sama saja? Sama saja, tak ada beda. Aku akan tetap memintamu untuk menemaniku selamanya. Baik kemarin, sekarang atau pun esok."
"Bukan itu, maksudku. Tak sesederhana itu, Damar. Semua berbeda. Tak seperti inginmu lagi." Jelas perempuan yang melepaskan genggaman lelaki yang memintanya itu.
"Apa kau menolakku? Kau mengabaikan rasaku? Mengapa?"
"Aku juga mencintaimu Damar." Mengusap pipi lelaki bertubuh tinggi itu. Kulitnya halus, meski wajahnya mengisyaratkan rasa cemas.
"Lantas, mengapa kau tak ingin memakai cincin ini di jari manismu? Ulurkan tanganmu. Sini, aku ingin melingkarkan cincin ini di jari manismu."
"Tidak Damar, tidak semudah itu."
"Ayolah, permainan apa lagi yang akan kau mainkan, Restu?"
"Damar, kita bersama dengan beda dan jeda yang selama ini tak sengaja hadir didalam hidup kita. Lingkaran hidupku tak pernah lepas dan terhindar dari sosokmu. Aku berterima kasih dan bersyukur atas hal itu. Tapi,"
"Tapi apa?"
"Meski kita sudah bersama dan bertahan untuk bersama selama dan sejuah ini, takdir tetap saja tak berpihak pada keinginanmu pun keinginanku."
"Maksudmu? Keinginan apa?"
"Kau teramat bodoh, Damar."
"Terserah apa penilaianmu, tak peduli. Yang pasti aku bodoh juga karenamu."
"Kau tahu, sulit untuk bertahan dan meyakinkan diri untuk bersama dengan seseorang yang tak memberikan kepastian. Setelah sekian bersama tanpa status yang jelas, mengapa tiba-tiba kau pinta aku untuk menikah denganmu?" Tanya perempuan yang pandangannya tak berpaling seinci pun dari lelaki yang mencintainya itu.
"Kau bilang, aku tak memberimu kepastian? Lantas kau anggap apa semua kejujuran ku tadi? Bukankah, aku baru saja mengatakan sebuah pengakuan bahwa aku mencintaimu dan teramat menginginkan mu?"
"Iya, iya. Kau memang mengatakan semuanya tadi. Baru saja. Tidak dari dulu, tidak sejak dulu." Kali ini, ia mengucapkan kalimat dengan nada yang cukup tinggi pada lelaki itu.
"Memang, apa bedanya. Apa bedanya, Estu?" Tegas Damar yang mulai kesal pada teka-teki yang sedang dimainkan perempuan itu.
"Berbeda Damar, sekarang tak seperti dulu."
"Jelaskan padaku, apa kau sudah tak menginginkan aku?"
"Tidak, aku masih menginginkanmu!"
"Lantas apa yang menjadi masalahnya? Apa lagi?"
"Masalahnya, masalah yang selama ini mengintaiku, kini tengah hadir dihadapan ku. Aku tak bisa menjawab atau pun menerima serta membalas cintamu."
"Mengapa?"
"Karena aku memiliki yang lain, Damar."
"Apa, bagaimana bisa. Mengapa tak kau katakan sebelumnya, bahwa kau telah memiliki yang lain?"
"Damar ... Seseorang yang selama ini kau anggap cintamu, kini sudah tak mungkin lagi bisa jadi inginmu. Telah aku coba mengatakannya, tapi aku bingung. Entah dari mana aku harus mengatakannya."
"Kau sudah memiliki orang lain? Yang bisa menjagamu dalam ketakutanmu, yang bisa menenangkanmu dalam kerisauanmu? Apa bukan aku, orang lain itu?"
"Tidak Damar, maaf karena bukan engkau. Jujur, aku pun mencintaimu dengan apa yang kita lalui selama ini. Tapi, takdir berkata lain. Takdir tak bisa sejalan dengan keinginan kita. Aku sudah menjadi milik lelaki lain, aku sudah bertunangan."
"Tapi belum menikah, bukan?!" Sahut lelaki itu dengan nada kesal.
"Apa kau gila, apa maksudmu kau akan terus berusaha mendapatkan ku kembali?"
"Iya, Restu. Jika iya, memang kenapa?"
"Tidak, jangan lakukan itu. Jangan lakukan sesuatu yang sia-sia. Bulan depan aku akan menikah. Tak ada yang bisa kau lakukan. Terlambat, kau terlambat Damar."
"Aku tak bisa mendapatkan mu? Tak bisa bersamamu? Hanya karena terlambat mengatakan semuanya padamu? Ini salahku?"
"Tidak, tak semua murni salahmu. Aku pun ikut mengambil andil dalam kesakitan yang sedang kita panen saat ini."
"Tidak, bukan kita yang sakit. Hanya aku yang merasakannya."
"Tidak, aku pun merasakannya. Jika saja aku lebih peka untuk mengetahui bahwa kau juga mencintai aku, mungkin aku masih kuat bertahan menantimu untuk mengucapkan cinta kepadaku. Dan mungkin, aku takkan dengan seenaknya menerima cinta dari sosok yang lain selain dirimu."
"Apa yang membuatmu ragu?"
"Kau tak tahu perasaanku. Kecemasan yang tiba-tiba datang disaat aku melamunkan dirimu. Selama ini, aku hanya menerka-nerka semua perhatian yang kau beri. Apa ini rasa sayang, cinta atau hanya rasa empati semata. Selama ini aku menyimpan sejuta tanya. Aku takut jika persepsi ku salah, aku takut kesimpulan yang ku buat dalam diam ini menyakiti perasaanku sendiri. Sempat terpikir olehku, untuk mengutarakan cinta padamu."
"Lalu, mengapa tak kau lakukan? Mengapa tak kau utarakan?"
"Mengapa tak aku utarakan? Aku perempuan. Aku wanita. Tabu. Tabu bagi kaum kami untuk mengutarakan cinta terlebih dahulu. Selama ini, kodrat kami hanya menanti ucapan-ucapan yang selama ini kami harapkan."
"Jadi, kau menyalahkan aku?"
"Berkali aku katakan, aku sama sekali tidak menyalahkan mu. Tidak sekalipun." Ucap perempuan itu dengan penuh sesal.
Kini, dada keduanya menjadi sesak. Sesak dengan kenyataan yang mereka dapatkan. Kupu-kupu yang selama ini berterbangan di dalam hati keduanya, perlahan pergi dan hilang.Yang ada hanya sebuah sesal yang tandus. Membunuh, menyesakkan secara perlahan. Hingga meninggalkan luka baru yang entah kapan bisa terobati. Luka yang muncul hanya karena, sebuah tanya yang tak berani mereka tanyakan. Luka yang muncul hanya karena, sebuah cemas yang tak mereka utarakan dengan segera.
Perempuan yang selama ini menemaninya. Lelaki yang selama ini ada untuknya. Kini tak lagi bisa menghiasi hari-hari mereka berdua. Semua hancur dengan kenyataan dan penjelasan yang mereka hadirkan secara terlambat. Terlambat mengutarakan dan mengakui bahwa mereka cinta dan saling mencintai.
"Baiklah, jika itu memang keputusanmu. Aku hargai. Aku do'akan kehidupan baru yang bahagia dengannya meski tanpa aku." Ucap lelaki yang sudah lemas dan muak dengan keadaannya.
"Maafkan aku, Damar .."
"Jangan ucapkan itu. Tak usah kau ucapkan maaf. Takkan merubah segalanya, percuma."
"Kau boleh mencaci aku, jika kau terluka." pinta perempuan itu.
"Tidak. Aku takkan melukai perempuan yang aku cintai. Maaf, jika perasaanku padamu ku utarakan secara terlambat. Maaf atas segala yang membuatmu cemas dan menunggu aksi kepastian ku padamu. Maaf, jika telah membuatmu merasa seperti orang yang sedang dipermainkan."
"Kita berdua sama, Damar"
"Sudah, tak perlu menghiburku. Seandainya saja saat pertama bertemu aku sudah mengatakan suka kepadamu, mungkin kini kau tengah merencanakan resepsi sakral bersamaku."
"Iya, seandainya saja aku juga berani mengatakan kesungguhan cintaku padamu. Mungkin, aku takkan menerimanya." Sahut Restu.
"Tak apa, mungkin ini takdirku untuk tak berdua denganmu. Kita akhiri sekarang?"
"Aku akhiri semuanya. Perihal tanya yang sempat tak terjawab. Perihal cemas yang sempat merajai kepala. Maaf dan terima kasih atas kebahagiaan yang kau bagi dan kau hadirkan selama ini. I love you, Damar."
"Jangan kau perpanjang lagi kisah ini. Cukup aku yang salah dan kalah. I love you, but I can't make you to be mine." Mengucapkannya dengan senyuman pada Restu.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini? Akan pergi kemana kau setelah ini?"
"Tak ada. Tak ada yang akan ku lakukan selain mengenangmu. Aku juga takkan pergi kemana pun, aku hanya ingin melihatmu pergi meninggalkan aku dengan sedikit senyuman dibibir mu."
"Apakah itu permintaanmu?"
"Anggap saja begitu, permintaan terakhir ku padamu. Ayo lakukan."
"Baiklah, akan ku lakukan. Aku pergi, Damar. Maaf, untuk aku yang tak bisa tinggal di hati mu." Berjalan menjauh, sembari melengkungkan senyuman pada lelaki yang tengah sakit dibuatnya.
"Pergilah dengan sejuta harapan baru yang kau lahirkan pada lelaki asing itu. Semoga semesta memberkatimu dengan anugerah kebahagiaan, Restu." Ucap lelaki itu dalam hati.
Mereka pergi berlawanan arah. Ke arah yang berbeda, mereka tapaki jalan yang tak lagi mereka lewati berdua. Tapi tak mengapa, setidaknya tanya yang ada diantara keduanya sudah terjawab. Meski terselesaikan dengan penyesalan diantara keduanya (mungkin).
***
Tanpa mereka duga, Tuhan telah menghadiahkan sesuatu yang mengejutkan pada pertemuan mereka kali ini. Pelajaran, tentang apa sulitnya mengutarakan apa-apa yang menjadi tanya dalam hidupnya selama ini. Pelajaran, tentang apa salahnya menyatakan cinta pada seseorang yang memang benar kita cintai. Tanpa ada rasa takut, tanpa ada rasa malu.
Cinta, memang terkadang selucu itu. Mengetahui bahwa seseorang yang selama ini diinginkan juga sama menginginkan kita. Mengetahui bahwa seseorang yang selama ini dicintai juga sama mencintai kita. Tapi sayang, semua diketahui dalam waktu yang salah. Dalam keadaan yang tak lagi berpihak pada kita. Jika sudah seperti itu, apa yang didapat selain penyesalan yang terus menerus datang menyapa?
Penyesalan adalah hadiah yang didapat dari segala yang ditunda, dari segala yang diremehkan, dari segala yang tidak kita dengar.
Untuk engkau, yang sedang atau tengah berada dengan seseorang yang kau inginkan dan kau cintai. Gunakan waktu dan keadaan yang kau miliki, manfaatkan semua untuk mengutarakan semua rasamu padanya. Jangan tunggu nanti atau esok, untuk mengakui bahwa kau teramat mencintainya. Sebelum, semua terlambat. Sebelum segalanya tak berpihak lagi padamu.
Baik adam atau hawa, mereka takkan hina jika mengucapkan cinta pada lawan jenis yang mereka cintai. Sebaik-baiknya cinta, adalah cinta yang sanggup kau dapatkan. Seburuk-buruknya cinta, adalah cinta yang kau pendam tanpa sempat kau utarakan. Ucapkan walau harus mendapatkan penolakkan. Utarakan walau harus mendapatkan pengabaian. Selama kau telah mengakui cinta itu, sadar atau tidak kau telah mencoba mendapatkan cinta itu. Berbahagialah bagi engkau yang merasakan cinta yang bersambut. Bersyukurlah bagi engkau yang mengalami penolakkan, setidaknya kau telah mengutarakannya tanpa harus menyimpannya dalam diam.