Kita pernah sama-sama merunduk sambil menyebutkan satu persatu keinginan yang ada didalam kepala kita. Merapalkan semuanya secara terperinci, seakan takut Tuhan tak begitu mengerti apa yang kita mau pun butuhkan.
Kita juga sempat duduk berdua, berhadapan dan secara bergantian mengeluarkan semua hal yang kita suka pun tak suka. Memberitahu, tentang keburukkan masing-masing. Seakan tak risau bahwa salah satu dari kita, (mungkin saja) diam-diam akan mundur, pergi meninggalkan salah satu diantara kita dikemudian hari.
Tak jarang kita berselisih paham, perihal ego yang selalu kita tinggikan. Seakan salah satu dari kitalah yang selamanya benar tanpa celah kesalahan sedikit pun. Tanpa sadar, intonasi kita saat berbicara semakin tegas, semakin ingin di dengar, semakin ingin dimengerti. Hinga salah satu dari kita mengalah, mengalah demi sesuatu hal yang kita rasa masih sangat pantas untuk dipertahankan.
Entah sampai kapan, tingkah kita terus seperti itu. Bagai dua bocah yang memperebutkan gula-gula.
Terlalu keras kepalakah kita?
Kita pernah bersama melewati segala yang sempat membuat kita hampir saja menyerah. Menyerah pada keadaan, yang kita sebut bosan. Menyerah pada detik jarum jam, karena tak bisa berkompromi bahkan sering kali ingkar pada setiap pertemuan yang kita janjikan. Menyerah pada hati, yang mungkin sama-sama sudah sesak dengan drama yang ada diantara kita. Bahkan, kita pernah menyerah pada diri kita masing-masing. Memutuskan untuk menghentikan perjalanan. Tanpa memberi toleransi pada kenangan yang kita rasa begitu indah saat itu. Bukan begitu, Tuan?
Memang, aku akui. Aku laksana api, yang sulit dipadamkan. Yang selalu berkobar membakar setiap apa-apa yang tak aku sukai. Tapi, apakah kau belum mengerti?
Itu caraku untuk menjagamu, caraku yang berbeda untuk membuatmu ada disetiap detik hidupku. Karena, bukankah engkau diciptakan untuk menemaniku? Untuk bersamaku, bukan yang lain!
Selayaknya api yang selalu kalah dan mengalah pada sang air, itulah wujudku saat dihadapanmu. Kau selalu berhasil merangkul dan membujukku untuk mengikuti semua inginmu. Meski seberapa membaranya amarahku saat itu, kau selalu menang melawan aku. Entah ini adil atau tidak, yang kurasa kisah ini hanya milikmu seorang. Bukan aku.
Pernah kita berseteru, aku yang merasa kau terlalu egois dengan urusan dan duniamu. Tak mempedulikan aku, tak menghargai waktu yang ku sisihkan untuk bertemu kekasihku, kau!
Berbelit-belit engkau menghindar dari hujanan pertanyaanku yang terus memburumu. Sampai kata yang sempat kita kutuk, untuk tak pernah kita ucapkan itu keluar dari mulut manismu. "Putus" Ucapmu. Sedang aku yang masih terbelenggu cemburu saat itu, mengiyakan keinginanmu. Hingga akhirnya kita memilih untuk berpisah. Putus ---
Tanpa berpikir panjang, kau inginkan perpisahan dan ku-iyakan keinginanmu. Mungkin, untuk beberapa waktu kita begitu gagah dengan keputusan yang kau buat dan ku ambil. Kita sama-sama begitu bangga, seolah hebat mampu meninggalkan rasa sakit pada seseorang yang pernah kita cintai. Tapi, apakah kau yakin dengan keputusan ini? Tak ada niatan untuk berubah haluan? Apa kau siap merasakan kesakitan dan memelihara kesepian tanpa hadirku lagi?
Tidak, mungkin bukan engkau yang menyakitiku. Mungkin juga bukan aku yang menyakitimu. Lantas, siapa yang sakit dan tersakiti diantara kita?
Biarlah, biar aku yang merasakan kesakitan ini. Biar aku yang mati dirajam rindu yang masih tersisa disini. Tanpa ada kau, yang kini perlahan pergi.
Begitu banyak sesuatu tentang kita, hingga semesta pun bosan menyaksikannya. Cinta yang begitu rapuh dengan perpisahan. Sedikit-sedikit mengucapkan kata pisah, sedikit-sedikit menyerah. Apa mungkin, jumlah rasa sayang kita terlalu sedikit, Tuan?
Entahlah, biar menjadi kenangan. Usang.
Yang pasti... aku mulai menyadari, bahwa kita pernah sama-sama berusaha menjauh, menghindar bahkan bersembunyi. Kita pernah bersama-sama berada diujung jalan guna menyemarakkan perpisahan yang kita ciptakan sendiri. Semoga kita berdua tetap bahagia meski berada disisi lain yang berbeda.
--- Untuk Kita Yang Tak Lagi Bersama ---