Tuhan memang selalu gemar memberi kejutan. Memberi lelucon yang begitu menyenangkan, membuat setiap manusia terbahak-bahak jika (mungkin) mengetahui kisah yang akan terjadi.
Tanpa aku sangka, sesuatu yang pernah ku anggap mustahil, sesuatu yang dulu sempat aku abaikan, kini telah datang.
Merayu ku secara perlahan, mengajakku untuk tersenyum, mengajarkanku untuk merindu, mengingatkanku untuk membayangkan hal-hal yang semu. Entah, apa ini benar atau hanya kesalah pahaman ku saja.
Tanpa aku sangka, sesuatu yang pernah ku anggap mustahil, sesuatu yang dulu sempat aku abaikan, kini telah datang.
Merayu ku secara perlahan, mengajakku untuk tersenyum, mengajarkanku untuk merindu, mengingatkanku untuk membayangkan hal-hal yang semu. Entah, apa ini benar atau hanya kesalah pahaman ku saja.
Sekarang, yang ku rasakan hanya hati yang mulai menggelembung. Seolah-olah penuh dengan kupu-kupu liar, rasanya begitu sesak namun aku bahagia merasakannya.
Sempat aku memberanikan diri untuk bertanya pada semesta, apakah ini cinta?
Apa benar, aku tengah mencintai seseorang yang baru?
Apa benar aku jatuh cinta pada yang lain, selain Tuan di masa lalu?
Berkali-kali ku pejamkan mata, ku redam semua degupan yang ada di jantungku, ku sentuh juga hatiku untuk memastikan bahwa keramaian didalamnya telah tenang dan tak lagi gaduh. Ku coba berlari dari rasa yang masih dini untuk ku raba. Ku coba menampik dari apa yang menimpa perasaanku ini.
Sial!!
Semakin ku menghindar dari semuanya, semakin semesta menunjukkan konspirasinya.
Dirimu. Seseorang yang baru di dunia ku, semakin jelas terlihat. Sketsa wajahmu semakin jelas terbayang dalam lamunan. Senyuman sederhanamu semakin terpatri dalam ingatan. Oh, Tuhan ... Benarkah apa yang ku rasakan ini?
Aku berhasil jatuh cinta lagi, mulai menyukai seseorang yang lain. Mungkinkah ini pertanda, bahwa cintaku pada seseorang yang lalu telah terkikis dan hilang?
Jika memang iya. Berarti, kau adalah pelabuhanku selanjutnya. Aku harap engkaulah yang terakhir. Aku rela menjatuhkan semua lara, keluh kesah, resah hingga bahagiaku padamu. Aku siap, jika harus mengenalmu lebih jauh lagi. Aku bersedia, jika harus mengiringi dan menemani setiap langkah yang kau pijakkan di semesta ini. Aku akan menjadi seseorang yang baru untukmu, yang meleburkan semua kenangan masa lalu yang ada untukmu. Yang dengan ikhlas membagi semua cerita hidupku padamu. Yang dengan setia, datang, tinggal bahkan menetap dihatimu. Aku sanggup, Tuanku (yang baru).
Semenjak pertemuan itu, hasrat keingintahuan ku padamu semakin memuncak. Ku coba menerka, seperti apa karakter seorang lelaki yang berani masuk kedalam labirin kehidupanku. Ku dengarkan dengan seksama, saat kau tengah asyik menceritakan semua hal tentang mu. Terbesit dalam hati, sepertinya kau menarik, seperti mempunyai sesuatu yang menyenangkan untukku. Iya, pertemuan pertama denganmu sungguh mengesankan. Luar biasa!
Hingga berikutnya, ku putar waktu dan otak untuk bisa bertemu lagi denganmu. Untuk dapat melihat rupamu yang tampan dan gagah. Tatapanmu yang tajam, rahangmu yang tegas berhasil membuatku menggila.
Waktu yang di tunggu pun tiba.
"Hai?!"
Sapaanmu mengejutkan ku malam itu, disebuah kedai kopi yang tak jauh dari tengah kota, kita bertemu untuk kedua kalinya.
Tubuhmu tegap, menggunakan celana blue jeans, T-shirt dan sweater berwarna hitam. Terlihat begitu pas saat kau memakainya.
"Eh, hai juga Dewa!"
Namamu Dewa Adinata, yang mempunyai arti dewa yang paling unggul. Dan mulai saat ini, menjadi lelaki unggulan dan paling unggul dalam hidupku.
Rasanya masih sama, sama seperti saat pertama bertemu. Jantungku masih berdegup, berdegup semakin kencang disetiap detiknya.
"Maaf, membuatmu lama menunggu. Sudah pesan minuman?"
"Sudah, aku juga sudah memesan secangkir espresso untukmu." Jawabku.
"Hahaha ... Kau sudah mulai paham apa yang aku sukai, Nona?"
Apa? Kau memanggilku, Nona? Cukup Dewa, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Tak tahukah kau, aku lemah dan bisa mabuk kepayang karena itu. Atau, jangan-jangan kau sengaja memanggilku Nona? Agar aku juga membalas, memanggilmu dengan sebutan Tuan? Ucapku dalam hati, seperti ada sesuatu yang mengganjal saat ku mendengar kau memanggilku Nona.
"Hallo, Alka ... apa yang kau pikirkan? kok, melamun?" Ucapnya menyadarkanku dari lamunan. Seketika ku singkirkan semua pertanyaan yang menyergap ku tadi dan kembali fokus pada lelaki yang berada di dekatku ini.
Kupastikan gerak gerikmu tak hilang dari penglihatanku, tak seinci pun. Kini, kau sudah ada dihadapanku. Kita duduk berdua saling berhadapan, bertemankan dua cangkir kopi dan beberapa kudapan yang kita pesan malam itu. Menemani kita menghabiskan sepenggal malam melarutkan kebersamaan beserta senyuman.
"Maaf, membuatmu lama menunggu. Sudah pesan minuman?"
"Sudah, aku juga sudah memesan secangkir espresso untukmu." Jawabku.
"Hahaha ... Kau sudah mulai paham apa yang aku sukai, Nona?"
Apa? Kau memanggilku, Nona? Cukup Dewa, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Tak tahukah kau, aku lemah dan bisa mabuk kepayang karena itu. Atau, jangan-jangan kau sengaja memanggilku Nona? Agar aku juga membalas, memanggilmu dengan sebutan Tuan? Ucapku dalam hati, seperti ada sesuatu yang mengganjal saat ku mendengar kau memanggilku Nona.
"Hallo, Alka ... apa yang kau pikirkan? kok, melamun?" Ucapnya menyadarkanku dari lamunan. Seketika ku singkirkan semua pertanyaan yang menyergap ku tadi dan kembali fokus pada lelaki yang berada di dekatku ini.
Kupastikan gerak gerikmu tak hilang dari penglihatanku, tak seinci pun. Kini, kau sudah ada dihadapanku. Kita duduk berdua saling berhadapan, bertemankan dua cangkir kopi dan beberapa kudapan yang kita pesan malam itu. Menemani kita menghabiskan sepenggal malam melarutkan kebersamaan beserta senyuman.
Kau bercerita kembali, mengenai kejadian-kejadian yang kau alami. Perihal pekerjaanmu yang selalu menyita sebagian harimu. Perihal waktu kuliahmu yang terkadang tak sesuai dengan jadwal. Dan tentu saja perihal semua hal-hal yang ingin kau capai di kemudian hari. Aku pun tak tinggal diam, ku ungkapkan juga semua yang biasa ku lakukan, semua yang aku sukai pun tak ku sukai. Tapi tentu saja, tak ku ungkapkan perasaanku padamu. Aku terlalu takut, takut jika ini terlalu cepat untuk kita. Maaf, maksudku untukmu.
Semuanya begitu mengesankan, mungkin itu karena aku tengah jatuh cinta padamu. Entah, apa orang lain memiliki penilaian yang sama terhadap perbincangan kita malam itu.
Yang pasti, ku ucapkan terima kasih. Karena kau, aku tersadar. Tersadar, bahwa hatiku masih berfungsi dengan baik. Bisa mencintai seseorang lagi, selain Tuan dimasa lalu.
Pertemuan demi pertemuan pun tak sengaja semesta hadirkan diantara kita. Menurutku, pertemuan yang tak disengaja itu lebih indah. Tapi tunggu dulu, kejutan pun tak berhenti disitu. Perbincangan kita melalui telepon, senda gurau kita melalui pesan singkat. Bahkan, kepedulian yang kita berikan satu sama lain melalui lini masa begitu menyenangkan dan membuatku nyaman. Denganmu semuanya terasa mudah, wajar bila aku berkata seperti itu. Karena sebelumnya, aku pernah berada di masa yang sulit. Dimana mencintai seseorang itu begitu penuh dengan duka hingga luka yang masih membekas. Berbeda denganmu semuanya begitu singkat dan mudah, aku tak perlu bersusah payah untuk menunjukkan rasa peduliku padamu. Menurutku, apa-apa yang ku inginkan denganmu dan padamu selalu bersambut. Aku rasa yang menginginkan kita bukan hanya aku, tetapi juga kau.
Engkau pun menginginkan kita bersama, bukan?
Tak ku sangka, kita pun semakin dekat. Kita seperti tak berbatas dan tanpa jeda. Perihal ucapan-ucapan yang mampu menyemangati satu sama lain pun, sudah mulai berani kita ungkapkan. Sungguh, ini diluar dugaan. Sebelumnya, ku kira ini hanya rasa nyaman semata nan sementara. Ternyata perkiraan ku salah, hadirmu nyata dihidupku. Nyata menyadarkan ku bahwa mencintai itu tak selalu berbuah tangis. Terima kasih atas kejutan-kejutan kecil yang kau hadirkan selama ini.
***
Penghujung tahun pun tiba, Desember benar-benar menjadi bulan terberat bagiku. Dimana air-air rahmat penguasa semesta lebih sering berjatuhan ke bumi. Mungkin engkau juga tahu, ingatan ku sangat mudah di ajak bermain oleh suasana yang dihadirkan pada saat hujan. Layaknya menyaksikan film, semua ingatanku jatuh dan tumpah bersama aroma tanah yang basah, memutar semua memori yang ada dan disaat itu pula diriku mulai gamang, teringat tentang kisah di masa lalu. Perihal mencintai, menyayangi dan mengagumi seseorang yang belum tentu mempunyai rasa yang sama terhadapku. Perihal menyimpan sesuatu yang layak kau akui tapi tak berujung pengakuan. Aku takut, semacam trauma bila harus mencintai seseorang (lagi). Resah yang ku rasakan, seolah mengintaiku dari kejauhan.
Seperti ada bisikan iblis ditelinga yang selalu mengatakan,
"Hai, Alka Gauri .. Kita lihat peruntungan cintamu dengan seseorang yang baru ini. Apakah akan berakhir sama dengan Tuanmu yang sebelumnya? Atau berbeda dan mengesankan, persis seperti apa yang ada dalam lamunanmu selama ini!"
Ya, kalimat itu yang selalu terniang ditelingaku saat menjelang tidur, seakan mengusik kebahagiaan yang (mungkin) datang bersama dengan kehadiranmu, Dewa ...
Ku tutup telinga dari semua iblis dan orang-orang yang mencibirku. Maaf, maksudku bukan mencibir. Mungkin mereka hanya mengingatkan aku untuk mengerti, mengerti bahwa bersama seseorang yang masih memiliki alur yang baik dengan mantan kekasihnya itu tidaklah mudah. Tak apa, aku pun memiliki masa lalu yang sulit untuk ku buang begitu saja. Kita memiliki permasalahan yang sama, bukan? Mengapa tak kita coba untuk saling mengisi satu sama lain dan melupakan apa-apa yang sudah membuat hati sulit dan sakit? Tapi entah mengapa, mereka selalu menjabarkan bagaimana sikapmu, perlakuanmu pada kekasihmu yang dulu. Perihal engkau yang selalu menciptakan situasi untuk melepas ribuan rindu yang semakin hari kian berbuih, pada perempuan yang sempat kau miliki itu. Pernah temanmu berkata padaku, katanya engkau rela untuk menetap lebih lama di kota tempat perempuan itu tinggal. Hanya untuk mencari celah, kapan kau bisa duduk berdua dengannya, dengan kepala yang tertunduk serta kepalan tangan yang masih mencintainya dengan sungguh. Benarkah itu, Dewa?
Apa benar, engkau masih ingin mempertahankan semua yang pernah ada dengannya?
Jika iya, matilah aku (lagi). Entah apa rupanya hati ini, remuk atau bahkan bisa berubah menjadi kepingan.
Tapi tidak, aku tak boleh sembarangan mempercayai perkataan orang lain. Apalagi yang menceritakan itu hanya sebatas temanmu saja, bukan sahabat atau kerabatmu. Aku bebas kan, untuk tak menelan apa yang dia katakan bulat-bulat? Aku berhak mendengarkan wejangan temanmu untuk tak melanjutkan kedekatan kita, dan tentu saja aku pun berhak untuk tak menghiraukan itu semua, bukan?
Tenang Dewa ... Tenanglah Tuanku yang baru, aku akan tetap bertahan. Aku masih mau mengenalmu lebih jauh lagi dan tentu saja masih sangat ingin untuk lebih dekat denganmu. Kini, bersamamu itu prioritasku!
***
Sore itu hatiku berdebar. Tidak, tidak ... pada saat itu suara hatiku menggelegar. Menerima pesan singkat darimu, mengajakku bertemu di kedai kopi tempat pertama kali kita bertemu. Kau mengajakku bertemu tepat pada malam minggu. Tak ku biarkan kau menunggu lama atas jawabanku. Ku iyakan, tawaranmu untuk bertemu. Pukul 20.00 kau akan menungguku disana. Aku menyimpulkan, ada gelagat yang tak biasa padamu. Mungkinkah, malam nanti kau akan memintaku untuk menjadi milikmu?
Pada malam itu, bintang meredupkan terangnya. Lampu-lampu kota lebih memberi andil besar atas sinar yang tercipta. Hawa dingin yang angin hantarkan sangat menusuk tulangku. Rencanamu untuk menungguku di kedai kopi berubah, menjadi aku yang sejak tadi tengah menunggu kehadiranmu.
Berkali ku lihat angka pada arloji yang ku pakai, memastikan sudah pukul berapa ini. Mengapa kau belum datang?
Tak jarang tatapanku terpaku pada setiap lelaki yang datang, barang kali saja kau menungguku di dalam kedai. Tapi tak mungkin, aku cukup paham sudut yang kau sukai disini. Setiap kau mengunjungi kedai kopi ini, kau pasti duduk disini. Di tempat ini, dimana kau bisa melihat suasana outdoor yang selalu penuh dengan kejutan. Di meja ini, kau menikmati siangmu yang hangat, senjamu yang berwarna merah jingga, hingga suasana malammu yang temaram. Engkau selalu betah berlama-lama duduk disini, bukan?
Tapi mengapa kini kau tak datang dan menghilang tiba-tiba?
Suasana hatiku yang awalnya merah merona, kini berubah menjadi pucat. Ku coba menghubungi mu, tapi tak jua ku dapati kabarmu. Ku tinggalkan sepenggal pesan singkat, tapi tak kunjung ada balasan.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Permainan macam apa yang sedang kau lakoni, Dewa ... Tak tahukah aku cemas dan menunggumu dengan penuh harap?
Tapi hebatnya, hatiku masih berpihak padamu. Aku berpikir, mungkin kau terjebak lalu lintas jalan raya yang padat. Atau mungkin, kau ada jadwal kuliah tambahan sehingga membuatmu datang tak tepat waktu. Jika memang iya, mengapa tak kau beri kabar pada perempuan yang sedang menunggumu ini?
Sudah pukul 21.00, kopi dicangkir ku pun sudah tak hangat lagi. Suasana kedai pun semakin ramai dengan sepasang kekasih yang menyajikan tawa bahagia di atas meja. Ku lihat tak ada satupun guratan risau diantara mereka, yang nampak hanya ketakutan akan kehilangan di kemudian hari, pada masing-masing jiwa yang bangga karena telah berhasil mereka miliki. Sedang aku, hanya sebatas penonton yang sedang menyaksikan drama cinta paling klasik.
"Alka?" Terdengar suara lelaki, memanggilku dari jauh. Aku menoleh ke sudut yang lain, yang ku harap itu kau. Ternyata bukan. Ku dapati Adit yang tiada lain adalah sahabatmu, menghampiriku sambil menggandeng seorang perempuan cantik yang bernama Gita.
"Hai, Dit .."
"Hai, sedang apa kamu disini? Sendirian?"
"mmm ... Iya. Maksudku, aku sedang menunggu Dewa. Seharusnya aku bersamanya disini."
"Dewa? Yang kamu maksud itu Dewa Adinata?" Ucap Adit, kepadaku. Sedangkan aku hanya bisa mengangguk, menjawab pertanyaannya.
"Hah, kamu sedang menunggu Dewa, sepupuku itu?" Sahut Gita.
"Apa, jadi Dewa itu saudara sepupu kamu, Git?" Tanyaku penasaran.
"Iya, dia sepupu aku. Tapi setahuku, dia tak memberitahu kalau ada janji bertemu denganmu."
Apa maksud dari perkataan Gita ini, semakin membuatku penasaran. Membuatku kalang kabut, sebenarnya kemana perginya lelaki yang selama ini memperlakukan ku bagai dewi. Mengapa ia tak menunjukkan batang hidungnya sedikitpun malam ini?
"Sory ya, Ka. Yang aku tahu, sekarang Dewa sedang berada di Bandung. Baru saja, sore ia pergi dari rumah." Ungkap Gita (lagi).
Bandung?
Mengapa kau pergi kesana, untuk apa kau pergi kesana? Bukankah, kau berjanji untuk bertemu denganku malam ini?
"Kaa, kok bengong sih?" Adit menyadarkanku dari lamunan.
Entah, sulit ku percaya. Mengapa Dewa tega membiarkan aku menunggu selama berjam-jam disini. Tak tahukah, bahwa aku sudah bosan menunggu. Jika sebelumnya aku mampu menunggu seseorang dimasa lalu selama bertahun-tahun, kali ini rasanya aku tak sanggup untuk menunggu. Muak, menunggu itu benar-benar sangat melelahkan. Aku benci menunggu.
Asal kau tahu, aku mengutuk sebuah penantian yang tak berujung temu. Camkan itu!
"Adit, Gita .. Kalau boleh tahu, untuk apa Dewa pergi kesana? Menemui seseorang kah?"
"Kalau Dewa tiba-tiba pergi kesana dan sebelumnya tengah membuat janji denganmu, paling-paling ia datang untuk menemui Laras. Kamu tahu dan kenal Laras kan, dit? Selidik Gita pada Adit.
"Ouh yaa, aku tahu Laras. Dewa selalu mementingkannya. Tapi, bukankah perempuan itu mantan kekasihnya. Untuk apa ia menemuinya lagi?"
"Entahlah, mungkin memang ia harus menemuinya." Aku tersenyum pada mereka berdua.
***
Laras? Mantan kekasihmu itu?
Ouh yaa, tentu saja aku ingat. Tempo hari, kau sempat berniat untuk mengajakku ke pameran lukisan di Bandung. Dan mengapa tak ku sadari sebelumnya, bukankah pameran lukisan itu diselenggarakan hari ini?
Kau pergi kesana untuk menemaninya, bukan? Bukankah kalian dua sejoli yang sama-sama menyukai seni lukis? Kau sangat menyukai lukisan dan Larasmu itu kan, Dewa?
"Bodoh, kau Alka!! Jatuhlah kau pada kesakitan yang paling dasar. Rajam semua luka-luka yang masih menganga itu. Bukankah kami tengah mengingatkanmu sebelumnya?
Lelaki baru yang kau anggap mampu menggantikan seseorang di masa lalu itu tak lebih baik dari sebelumnya. Sama saja, seri! Dengan mudah, ia menjungkir balikan kebahagiaanmu. Memporak-porandakan tugu cintamu yang baru saja kau bangun. Rasakan itu, Alka!!" Suara iblis-iblis itu mulai berdengung kembali di telingaku. Seakan puas tertawa melihat kekalahanku (lagi).
Seketika, tubuhku lemas. Hatiku mati rasa. Ku ratapi sesuatu yang patah (lagi). Ku lihat bayangan wajahku di secangkir kopi yang hitam pekat, persis seperti ruang hatiku yang gelap. Ingin rasanya aku berteriak, mencaci namamu di depan mereka. Tapi rasanya, tak perlu ku lakukan itu semua. Lah toh, ini juga kebodohanku. Kesalahanku yang paling fatal, dengan mudah membuka hati bagi seseorang yang baru seperti engkau. Engkau yang masih menari-nari dalam buaian mantan.
Cih, kau pikir kau saja yang lemah dalam menghadapi masa lalu? Aku pun, aku juga masih terjebak pada masa lalu, pada seseorang yang telah lalu. Tapi aku mencoba meninggalkannya, ku coba menanggalkan angan-angan yang takkan mungkin menjadi nyata dengannya. Ku biarkan semua harapku mati pada sosoknya. Ku ijinkan harapku tumbuh dan hidup padamu. Cinta dan citaku padamu sungguh besar. Andai saja kau tahu itu!
Tapi mengapa tak kau lakukan hal yang sama terhadapku?
Mengapa tak kau campakkan saja masa kelammu itu?
Bukankah dulu, kau pernah tersakiti olehnya? Oleh dia, perempuan masa lalu yang masih saja kau peluk!
Tak bisakah kau lebih berupaya untuk menghindar, untuk meninggalkan dan lenyap dari apa-apa tentangnya?
Kau tahu, bahagiaku pernah ku sakralkan hanya untukmu. Ku kira, kebersamaan kita selama setahun ini sudah cukup untuk meyakini hati bahwa kau lah yang pantas untuk ku raih dan aku satu-satunya perempuan yang pantas kau kasihi. Tapi ternyata tidak.
Aku terlalu polos, terlalu mudah terbawa alur perasaan. Jika saja aku menyambutmu dengan cara yang biasa, mungkin aku takkan sehancur ini. Jika saja aku bisa lebih mendengarkan ucapan mereka untuk tak memulai hubungan dengan seseorang yang masih tenggelam dalam kenangan, mungkin kini aku takkan jatuh hinga ke dasar.
Untuk kesekian kalinya, aku mati pada semua yang sebelumnya ku hayati dengan hati. Aku melebur dengan apa-apa yang sempat ku peluk hingga kemudian hancur. Hanya kekalahan yang ku dapat, atas engkau yang ku puja berbeda. Maaf, jika aku mengalah dan membiarkanmu kembali pada masa lalumu. Bukan karena aku lemah pun tak berdaya, tapi hatiku sudah terlalu penuh dengan hal-hal mengenai terabaikan, terlewatkan hingga terlupakan. Perihal penolakkkan sudah bisa aku terima. Meski tak secara langsung kau ungkapkan semua rasamu terhadapku, tapi aku sudah bisa membaca pilihan hatimu. Engkau lebih memilih untuk hidup damai bersama masa lalu mu yang belum tentu bisa menghapus pilu yang kau rasa. Dibanding hidup bersamaku, dunia barumu yang sudah ku yakinkan untuk selalu membuat harimu tersenyum mengharu biru.
Tak apa ... pergilah, kembalilah padanya. Kejarlah ia yang kau anggap pantas untuk di perjuangkan. Aku takkan menghalau mu, takkan pula mengejarmu. Mengapa demikian, karena aku tahu susah payahnya berlari demi seseorang yang jauh pergi meninggalkanmu. Biarlah, ku obati kesakitan ini sendiri. Kau tak perlu cemas, aku sudah paham betul perihal semua ini. Terima kasih ... Meski kau tak sempat ku miliki, setidaknya aku tersadar bahwa hatiku masih berfungsi. Masih bisa terbuka dan mau membukakan hati bagi orang lain, selain Tuan di masa lalu. Walau akhirnya, aku harus terluka (lagi).
Ku anggap kau sebagai kisah kemarin. Kisah yang singkat, dan semoga aku dapat dengan mudah membuangnya dan berlalu dengan gagah melupakannya.
Tak ku sangka, kita pun semakin dekat. Kita seperti tak berbatas dan tanpa jeda. Perihal ucapan-ucapan yang mampu menyemangati satu sama lain pun, sudah mulai berani kita ungkapkan. Sungguh, ini diluar dugaan. Sebelumnya, ku kira ini hanya rasa nyaman semata nan sementara. Ternyata perkiraan ku salah, hadirmu nyata dihidupku. Nyata menyadarkan ku bahwa mencintai itu tak selalu berbuah tangis. Terima kasih atas kejutan-kejutan kecil yang kau hadirkan selama ini.
***
Penghujung tahun pun tiba, Desember benar-benar menjadi bulan terberat bagiku. Dimana air-air rahmat penguasa semesta lebih sering berjatuhan ke bumi. Mungkin engkau juga tahu, ingatan ku sangat mudah di ajak bermain oleh suasana yang dihadirkan pada saat hujan. Layaknya menyaksikan film, semua ingatanku jatuh dan tumpah bersama aroma tanah yang basah, memutar semua memori yang ada dan disaat itu pula diriku mulai gamang, teringat tentang kisah di masa lalu. Perihal mencintai, menyayangi dan mengagumi seseorang yang belum tentu mempunyai rasa yang sama terhadapku. Perihal menyimpan sesuatu yang layak kau akui tapi tak berujung pengakuan. Aku takut, semacam trauma bila harus mencintai seseorang (lagi). Resah yang ku rasakan, seolah mengintaiku dari kejauhan.
Seperti ada bisikan iblis ditelinga yang selalu mengatakan,
"Hai, Alka Gauri .. Kita lihat peruntungan cintamu dengan seseorang yang baru ini. Apakah akan berakhir sama dengan Tuanmu yang sebelumnya? Atau berbeda dan mengesankan, persis seperti apa yang ada dalam lamunanmu selama ini!"
Ya, kalimat itu yang selalu terniang ditelingaku saat menjelang tidur, seakan mengusik kebahagiaan yang (mungkin) datang bersama dengan kehadiranmu, Dewa ...
Ku tutup telinga dari semua iblis dan orang-orang yang mencibirku. Maaf, maksudku bukan mencibir. Mungkin mereka hanya mengingatkan aku untuk mengerti, mengerti bahwa bersama seseorang yang masih memiliki alur yang baik dengan mantan kekasihnya itu tidaklah mudah. Tak apa, aku pun memiliki masa lalu yang sulit untuk ku buang begitu saja. Kita memiliki permasalahan yang sama, bukan? Mengapa tak kita coba untuk saling mengisi satu sama lain dan melupakan apa-apa yang sudah membuat hati sulit dan sakit? Tapi entah mengapa, mereka selalu menjabarkan bagaimana sikapmu, perlakuanmu pada kekasihmu yang dulu. Perihal engkau yang selalu menciptakan situasi untuk melepas ribuan rindu yang semakin hari kian berbuih, pada perempuan yang sempat kau miliki itu. Pernah temanmu berkata padaku, katanya engkau rela untuk menetap lebih lama di kota tempat perempuan itu tinggal. Hanya untuk mencari celah, kapan kau bisa duduk berdua dengannya, dengan kepala yang tertunduk serta kepalan tangan yang masih mencintainya dengan sungguh. Benarkah itu, Dewa?
Apa benar, engkau masih ingin mempertahankan semua yang pernah ada dengannya?
Jika iya, matilah aku (lagi). Entah apa rupanya hati ini, remuk atau bahkan bisa berubah menjadi kepingan.
Tapi tidak, aku tak boleh sembarangan mempercayai perkataan orang lain. Apalagi yang menceritakan itu hanya sebatas temanmu saja, bukan sahabat atau kerabatmu. Aku bebas kan, untuk tak menelan apa yang dia katakan bulat-bulat? Aku berhak mendengarkan wejangan temanmu untuk tak melanjutkan kedekatan kita, dan tentu saja aku pun berhak untuk tak menghiraukan itu semua, bukan?
Tenang Dewa ... Tenanglah Tuanku yang baru, aku akan tetap bertahan. Aku masih mau mengenalmu lebih jauh lagi dan tentu saja masih sangat ingin untuk lebih dekat denganmu. Kini, bersamamu itu prioritasku!
***
Sore itu hatiku berdebar. Tidak, tidak ... pada saat itu suara hatiku menggelegar. Menerima pesan singkat darimu, mengajakku bertemu di kedai kopi tempat pertama kali kita bertemu. Kau mengajakku bertemu tepat pada malam minggu. Tak ku biarkan kau menunggu lama atas jawabanku. Ku iyakan, tawaranmu untuk bertemu. Pukul 20.00 kau akan menungguku disana. Aku menyimpulkan, ada gelagat yang tak biasa padamu. Mungkinkah, malam nanti kau akan memintaku untuk menjadi milikmu?
Pada malam itu, bintang meredupkan terangnya. Lampu-lampu kota lebih memberi andil besar atas sinar yang tercipta. Hawa dingin yang angin hantarkan sangat menusuk tulangku. Rencanamu untuk menungguku di kedai kopi berubah, menjadi aku yang sejak tadi tengah menunggu kehadiranmu.
Berkali ku lihat angka pada arloji yang ku pakai, memastikan sudah pukul berapa ini. Mengapa kau belum datang?
Tak jarang tatapanku terpaku pada setiap lelaki yang datang, barang kali saja kau menungguku di dalam kedai. Tapi tak mungkin, aku cukup paham sudut yang kau sukai disini. Setiap kau mengunjungi kedai kopi ini, kau pasti duduk disini. Di tempat ini, dimana kau bisa melihat suasana outdoor yang selalu penuh dengan kejutan. Di meja ini, kau menikmati siangmu yang hangat, senjamu yang berwarna merah jingga, hingga suasana malammu yang temaram. Engkau selalu betah berlama-lama duduk disini, bukan?
Tapi mengapa kini kau tak datang dan menghilang tiba-tiba?
Suasana hatiku yang awalnya merah merona, kini berubah menjadi pucat. Ku coba menghubungi mu, tapi tak jua ku dapati kabarmu. Ku tinggalkan sepenggal pesan singkat, tapi tak kunjung ada balasan.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Permainan macam apa yang sedang kau lakoni, Dewa ... Tak tahukah aku cemas dan menunggumu dengan penuh harap?
Tapi hebatnya, hatiku masih berpihak padamu. Aku berpikir, mungkin kau terjebak lalu lintas jalan raya yang padat. Atau mungkin, kau ada jadwal kuliah tambahan sehingga membuatmu datang tak tepat waktu. Jika memang iya, mengapa tak kau beri kabar pada perempuan yang sedang menunggumu ini?
Sudah pukul 21.00, kopi dicangkir ku pun sudah tak hangat lagi. Suasana kedai pun semakin ramai dengan sepasang kekasih yang menyajikan tawa bahagia di atas meja. Ku lihat tak ada satupun guratan risau diantara mereka, yang nampak hanya ketakutan akan kehilangan di kemudian hari, pada masing-masing jiwa yang bangga karena telah berhasil mereka miliki. Sedang aku, hanya sebatas penonton yang sedang menyaksikan drama cinta paling klasik.
"Alka?" Terdengar suara lelaki, memanggilku dari jauh. Aku menoleh ke sudut yang lain, yang ku harap itu kau. Ternyata bukan. Ku dapati Adit yang tiada lain adalah sahabatmu, menghampiriku sambil menggandeng seorang perempuan cantik yang bernama Gita.
"Hai, Dit .."
"Hai, sedang apa kamu disini? Sendirian?"
"mmm ... Iya. Maksudku, aku sedang menunggu Dewa. Seharusnya aku bersamanya disini."
"Dewa? Yang kamu maksud itu Dewa Adinata?" Ucap Adit, kepadaku. Sedangkan aku hanya bisa mengangguk, menjawab pertanyaannya.
"Hah, kamu sedang menunggu Dewa, sepupuku itu?" Sahut Gita.
"Apa, jadi Dewa itu saudara sepupu kamu, Git?" Tanyaku penasaran.
"Iya, dia sepupu aku. Tapi setahuku, dia tak memberitahu kalau ada janji bertemu denganmu."
Apa maksud dari perkataan Gita ini, semakin membuatku penasaran. Membuatku kalang kabut, sebenarnya kemana perginya lelaki yang selama ini memperlakukan ku bagai dewi. Mengapa ia tak menunjukkan batang hidungnya sedikitpun malam ini?
"Sory ya, Ka. Yang aku tahu, sekarang Dewa sedang berada di Bandung. Baru saja, sore ia pergi dari rumah." Ungkap Gita (lagi).
Bandung?
Mengapa kau pergi kesana, untuk apa kau pergi kesana? Bukankah, kau berjanji untuk bertemu denganku malam ini?
"Kaa, kok bengong sih?" Adit menyadarkanku dari lamunan.
Entah, sulit ku percaya. Mengapa Dewa tega membiarkan aku menunggu selama berjam-jam disini. Tak tahukah, bahwa aku sudah bosan menunggu. Jika sebelumnya aku mampu menunggu seseorang dimasa lalu selama bertahun-tahun, kali ini rasanya aku tak sanggup untuk menunggu. Muak, menunggu itu benar-benar sangat melelahkan. Aku benci menunggu.
Asal kau tahu, aku mengutuk sebuah penantian yang tak berujung temu. Camkan itu!
"Adit, Gita .. Kalau boleh tahu, untuk apa Dewa pergi kesana? Menemui seseorang kah?"
"Kalau Dewa tiba-tiba pergi kesana dan sebelumnya tengah membuat janji denganmu, paling-paling ia datang untuk menemui Laras. Kamu tahu dan kenal Laras kan, dit? Selidik Gita pada Adit.
"Ouh yaa, aku tahu Laras. Dewa selalu mementingkannya. Tapi, bukankah perempuan itu mantan kekasihnya. Untuk apa ia menemuinya lagi?"
"Entahlah, mungkin memang ia harus menemuinya." Aku tersenyum pada mereka berdua.
***
Laras? Mantan kekasihmu itu?
Ouh yaa, tentu saja aku ingat. Tempo hari, kau sempat berniat untuk mengajakku ke pameran lukisan di Bandung. Dan mengapa tak ku sadari sebelumnya, bukankah pameran lukisan itu diselenggarakan hari ini?
Kau pergi kesana untuk menemaninya, bukan? Bukankah kalian dua sejoli yang sama-sama menyukai seni lukis? Kau sangat menyukai lukisan dan Larasmu itu kan, Dewa?
"Bodoh, kau Alka!! Jatuhlah kau pada kesakitan yang paling dasar. Rajam semua luka-luka yang masih menganga itu. Bukankah kami tengah mengingatkanmu sebelumnya?
Lelaki baru yang kau anggap mampu menggantikan seseorang di masa lalu itu tak lebih baik dari sebelumnya. Sama saja, seri! Dengan mudah, ia menjungkir balikan kebahagiaanmu. Memporak-porandakan tugu cintamu yang baru saja kau bangun. Rasakan itu, Alka!!" Suara iblis-iblis itu mulai berdengung kembali di telingaku. Seakan puas tertawa melihat kekalahanku (lagi).
Seketika, tubuhku lemas. Hatiku mati rasa. Ku ratapi sesuatu yang patah (lagi). Ku lihat bayangan wajahku di secangkir kopi yang hitam pekat, persis seperti ruang hatiku yang gelap. Ingin rasanya aku berteriak, mencaci namamu di depan mereka. Tapi rasanya, tak perlu ku lakukan itu semua. Lah toh, ini juga kebodohanku. Kesalahanku yang paling fatal, dengan mudah membuka hati bagi seseorang yang baru seperti engkau. Engkau yang masih menari-nari dalam buaian mantan.
Cih, kau pikir kau saja yang lemah dalam menghadapi masa lalu? Aku pun, aku juga masih terjebak pada masa lalu, pada seseorang yang telah lalu. Tapi aku mencoba meninggalkannya, ku coba menanggalkan angan-angan yang takkan mungkin menjadi nyata dengannya. Ku biarkan semua harapku mati pada sosoknya. Ku ijinkan harapku tumbuh dan hidup padamu. Cinta dan citaku padamu sungguh besar. Andai saja kau tahu itu!
Tapi mengapa tak kau lakukan hal yang sama terhadapku?
Mengapa tak kau campakkan saja masa kelammu itu?
Bukankah dulu, kau pernah tersakiti olehnya? Oleh dia, perempuan masa lalu yang masih saja kau peluk!
Tak bisakah kau lebih berupaya untuk menghindar, untuk meninggalkan dan lenyap dari apa-apa tentangnya?
Kau tahu, bahagiaku pernah ku sakralkan hanya untukmu. Ku kira, kebersamaan kita selama setahun ini sudah cukup untuk meyakini hati bahwa kau lah yang pantas untuk ku raih dan aku satu-satunya perempuan yang pantas kau kasihi. Tapi ternyata tidak.
Aku terlalu polos, terlalu mudah terbawa alur perasaan. Jika saja aku menyambutmu dengan cara yang biasa, mungkin aku takkan sehancur ini. Jika saja aku bisa lebih mendengarkan ucapan mereka untuk tak memulai hubungan dengan seseorang yang masih tenggelam dalam kenangan, mungkin kini aku takkan jatuh hinga ke dasar.
Untuk kesekian kalinya, aku mati pada semua yang sebelumnya ku hayati dengan hati. Aku melebur dengan apa-apa yang sempat ku peluk hingga kemudian hancur. Hanya kekalahan yang ku dapat, atas engkau yang ku puja berbeda. Maaf, jika aku mengalah dan membiarkanmu kembali pada masa lalumu. Bukan karena aku lemah pun tak berdaya, tapi hatiku sudah terlalu penuh dengan hal-hal mengenai terabaikan, terlewatkan hingga terlupakan. Perihal penolakkkan sudah bisa aku terima. Meski tak secara langsung kau ungkapkan semua rasamu terhadapku, tapi aku sudah bisa membaca pilihan hatimu. Engkau lebih memilih untuk hidup damai bersama masa lalu mu yang belum tentu bisa menghapus pilu yang kau rasa. Dibanding hidup bersamaku, dunia barumu yang sudah ku yakinkan untuk selalu membuat harimu tersenyum mengharu biru.
Tak apa ... pergilah, kembalilah padanya. Kejarlah ia yang kau anggap pantas untuk di perjuangkan. Aku takkan menghalau mu, takkan pula mengejarmu. Mengapa demikian, karena aku tahu susah payahnya berlari demi seseorang yang jauh pergi meninggalkanmu. Biarlah, ku obati kesakitan ini sendiri. Kau tak perlu cemas, aku sudah paham betul perihal semua ini. Terima kasih ... Meski kau tak sempat ku miliki, setidaknya aku tersadar bahwa hatiku masih berfungsi. Masih bisa terbuka dan mau membukakan hati bagi orang lain, selain Tuan di masa lalu. Walau akhirnya, aku harus terluka (lagi).
Ku anggap kau sebagai kisah kemarin. Kisah yang singkat, dan semoga aku dapat dengan mudah membuangnya dan berlalu dengan gagah melupakannya.