"Aku mencintaimu. Aku suka melihat senyum merekah di bibirmu."
Sebuah pesan singkat yang kau kirimkan padaku, tempo hari. Tak ku hapus dan ku biarkan tersimpan hingga kini. Seolah menjadi pajangan cantik, menghiasi kotak pesan masuk di ponselku. Tak jarang ku baca kembali semua pesan singkat darimu. Lucu, percakapan dua manusia keturunan Adam dan Hawa yang kelihatannya masih begitu lugu, tak pantas untuk merasakan pilu.
Lantas, bagaimana dengan keadaanmu sekarang?
Masihkah engkau bahagia?
Aku paham betul, semua tingkah lakumu. bagaimana kau mendapatkan, menjaga dan mempertahankan seseorang yang (mungkin) sudah terlalu sering menghadiahkanmu sebuah kekecewaan. Dulu, kau datang padaku dengan tergesa-gesa. Menceritakan betapa bodohnya engkau, lelaki yang masih saja percaya pada perempuan yang telah mencabik-cabik hatimu berkali-kali.
"Ajari aku untuk melepaskannya! Karena kisah yang penuh dengan kata pisah itu sungguh membuatku lelah." Ucapmu.
Sedang aku hanya bisa tersenyum, melihat lelaki yang sudah cukup dewasa yang sudah bisa dan biasa merawat dirinya sendiri. Namun tidak dengan hatinya. Entah, sebegitu sulitkah untuk merawat hati agar tak terluka?
Engkau, lelaki yang penuh dengan tanda tanya. Jujur, hingga detik ini aku masih menerawang siapa seseorang ini, yang tiba-tiba masuk ke dalam lingkaran hidupku. Merengek ingin didengarkan segala kisah dan resahnya. Tak jarang, kau juga senang menggangguku dengan rayuan-rayuan mautmu. Untung saja aku masih sadar, bahwa lelaki yang sedang bersamaku ini adalah kekasih orang lain. Yang kebetulan saja sedang singgah di pelataran hidupku. Coba saja aku berhati iblis, bisa saja aku menyarankanmu untuk meninggalkan perempuan itu. Perempuan yang katanya sering bermain-main dengan ketulusanmu. Ngomong-ngomong, dia itu si perempuan yang selalu menabur luka dihatimu, bukan?
Lantas, untuk apa kau mempertahankannya?
Sedang tiap malam kau habiskan waktu denganku, mengeluh tentang semua yang kau rasa pilu. Kalau seperti itu, kenapa tak kau coba cintaku? Mungkin sayangku bisa mengobati hatimu.
Oups, tidak-tidak. Aku perempuan yang baik hati. Tak mungkin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Walau seringkali aku terhanyut dalam sosokmu yang akhir-akhir ini selalu ada disisiku. Salahmu juga, kenapa memberikan harapan pada jiwa yang penuh lara ini. Tahukah engkau, bahwa aku juga sama seperti mu?
Yang menjadi budak perindu, merindukan seseorang yang jelas-jelas tak merindukan hadirku. Menyayangi seseorang, yang tak pernah bisa membalas kasih sayang yang ku beri.
Kita memang sama dalam beberapa hal. Namun harus ku akui, bahwa ada perbedaan diantara kita. Engkau, berjuang untuk mempertahankan cinta yang bertahun-tahun kau jalani dengan seseorang yang kau yakini. Sedang aku, berjuang untuk mempertahankan hatiku sendiri. Agar aku tak merasakan sakit, saat mendapati kenyataan bahwa engkau lebih memilih untuk masih bersamanya dengan luka yang kau biarkan menganga begitu saja. Sungguh jauh berbeda, bukan?
Ya ... Aku harap, kau tak salah dalam mengambil keputusan. Bagaimana pun dia, dia adalah perempuan yang mengajarkanmu arti pengorbanan dan ketulusan. Jangan sampai kau berbalik menyakitinya dikemudian hari, hanya karena dia yang lebih dulu sering menyakitimu. Lupakan aku, jangan pernah lagi hadir dikehidupanku. Jangan juga kau kirim pesan singkat padaku lagi. Apalagi sampai mengutarakan isi hatimu, bahwa kau menyukai dan nyaris mencintaiku.
Pergilah, rawat hatimu. Jangan berpaling pada perempuan manapun, sesakit apapun itu. Yang kau perlukan hanya cintanya, bukan cintaku yang (mungkin) hanya menjadi pelarianmu saja. Terima kasih tengah berbagi pengalaman cintamu. Semoga aku tak seperti perempuanmu, semoga aku tak seperti dirimu yang bangga membicarakan keburukkan pasanganmu, semoga aku akan lebih bahagia dari kalian berdua.
Tertanda,
Tempat pelarianmu.