Rasanya belum lama, aku tertatih mengumpulkan pecahan-pecahan hati yang harus ku rangkai sempurna seperti sedia kala.
Kini, luka itu kembali menganga ke permukaan.
Semakin besar, lubangnya terlihat semakin nyata.
Getir, perih rasanya, baru saja ku baca bait-bait sajak itu.
Sajak yang penuh dengan luka yang berjejak.
Teruntai kalimat-kalimat magis, menyentuh sanubari.
Kekal kata orang-orang itu.
Aku mencoba sembuh, Tuan..
Sedikit banyaknya, aku bangkit karena mantra-mantra di setiap sajakmu.
Mengerti arti merelakan, dari kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api.
Berusaha untuk tabah seperti hujan di bulan juni.
Tapi, minggu ku menjadi sendu, semrawut, setelah mendapati kabar tentangmu.
Tangisan orang-orang yang menyayangimu pun melimpah ruah.
Jatuh, menandakan kehilangan yang teramat sangat.
Sungguh duka yang mendalam.
Pujangga andalan, si pemilik kata berjuta makna kini telah berpulang.
Barangkali, apa yang kau isyaratkan adalah benar.
Yang fana adalah waktu, karyamu yang abadi.
Tuan, kali ini hujan juga jatuh di bulan Juli.
Kesedihan datang berbondong-bondong melepas kepergianmu.
Kepergian dari seseorang yang telah menghadiahkan sajak-sajak pada semesta.
Apa yang kau tulis pada suatu hari nanti pun, benar adanya Tuan..
Bahwa walau jasad sudah tak terlihat di pelupuk mata, masih banyak bait-bait indah yang akan selalu memanjakan mata.
Terimakasih untuk setiap kata yang kau lahirkan.
Semuanya berarti, karyamu kekal abadi, di dunia yang fana ini.
Aku akan selalu mencarimu, mengeja satu persatu kata di setiap sajak sempurnamu.
Selamat jalan, wahai pujangga..
Selamat menetap di surga.