Kembali ku cermati kisah-kisah yang telah usang.
Mencoba mencari jawaban dari apa-apa yang pernah terjadi.
Haruskah aku mengubur dalam-dalam semua rasa yang ada?
Mati-matian aku bertahan, aku basuh setiap luka agar segera pulih.
Walau tak jarang, ku kembali terjerumus dalam lubang kenangan.
Menyepi lagi, menyendiri lagi, meratapi lagi. Entah, mengapa aku begitu gemar memeluk kenangan.
Membiarkan diri terombang-ambing, tersiksa saat mencoba melupakan sesuatu memori yang abadi.
Apakah ada yang peduli dengan kesakitan yang ku rasakan ini?
Perlahan tapi pasti, aku balut semua memar yang membiru, ku sayangi diri ini, agar hatiku semakin membaik.
Agar suatu saat nanti, bila aku bertemu dengan seseorang yang baru, aku akan siap dan bisa mengucapkan selamat datang dengan indah nan cantik.
Tapi sayang, semua itu tak mudah. Kembali ku berlari mengejar bayangmu yang semu.
Tak ku temukan lagi, sosokmu di sana. Dimana sepasang mata sayu yang teduh itu berada?
Tak ku lihat lagi dirimu di sana. Tak ada yang menanti kedatanganku lagi, tak ada yang merindukan kehadiranku lagi.
Hilang, kataku.
Konon, sesuatu yang datang dengan mudah akan pergi dengan mudah juga.
Mirip sepertimu, ya? :)
Dengan mudahnya datang, menyapa, merayu hingga memaksa.
Bodohnya aku, bisa-bisanya percaya dengan seseorang yang sangat asing sepertimu.
Ku persilakan engkau masuk, mengenalmu, memahamimu, membiarkanmu duduk di singgasana hatiku.
Sungguh payah, hanya sekejap kau beri kebahagiaan padaku.
Setelah kau merasa cukup bersenang-senang, kau meninggalkan ku dengan mudah.
Tanpa perlu bimbang, perpisahan pun kau undang dengan penuh kebanggaan.
Katamu, dapat mengenalku adalah anugerah.
Kau cukup bahagia karena pernah menghabiskan waktu bersama denganku.
Tapi maap, tidak bagiku.
Bagiku, kebahagiaan yang kau berikan padaku tak sepadan dengan kesakitan yang kau beri.
Entah kenapa rasa sakit ini lebih banyak jumlahnya, dibanding bahagia yang kau beri padaku.
Mengapa waktu kita begitu sedikit?
Apakah aku tak pantas untuk menerima dan mendapatkan yang lebih darimu?
Mengapa aku harus merelakan (lagi), merasakan hidup yang payah dan kalah?
Aku kira, patah hati yang paling hebat adalah ketika kau mendapat penolakan dari seseorang yang kau cintai.
Aku kira, patah hati yang paling hebat adalah ketika kau tak bisa bersama dengannya, karena cara berdo'a yang berbeda, ketika Tuhan yang kau miliki berbeda dengan Tuhan yang ia miliki.
Ya, dahulu aku sempat mengira hal-hal seperti itu adalah suatu keadaan yang sangat menyakitkan.
Tahukah kau, bahwa kini ada kesakitan yang lebih hebat dari itu semua?
Kini aku sadar, ada yang lebih sakit dari itu semua.
Kau tahu, tak ada yang lebih getir dari cinta yang dipaksa patah oleh keluarga.
Patah hati yang paling hebat adalah penolakan dari keluarga. Ya, ini yang terhebat!
Ku mencoba menerima kenyataan.
Tenang, aku mencoba menghindar dari segala tentangmu.
Aku bukan seorang perempuan jahat, yang membuat seorang anak lelaki menjadi orang asing untuk keluarga dan rumahnya.
Aku menyayangi dan mengasihimu dengan sungguh dan tulus.
Tak apa, jika aku harus berteman dengan rasa sepi yang lirih ini.
Setidaknya, untuk sementara aku akan akrab dengan kesepian.
Selama di sana kau tetap baik-baik saja, aku bisa merasa tenang.
Aku mengerti, tak mudah untukmu menghadapi semuanya.
Aku tahu, kau juga merasakan (sedikit) kesakitan yang sama sepertiku.
Maap, karena aku begitu lihai berpura-pura menjadi kuat dihadapanmu.
Maap, karena aku mencoba melepaskanmu lebih dulu.
Mungkin terlalu dini untuk kita saling mencinta, hingga terlalu dini kita berpisah, tanpa ada daya upaya untuk mempertahankan rasa cinta yang kita miliki.
Yang perlu kau tahu, aku mungkin perempuan yang lemah bagimu, yang (mungkin) begitu mudah kau raih.
Tapi kau juga harus tahu, bahwa aku bisa pergi. Di waktu yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.
Aku pergi dan belajar merelakanmu, karena aku sadar, bahwa aku bukanlah pilihan.
Suatu saat, ku harap kau mengerti, bahwa aku adalah perempuan yang layak dicintai, yang pantas disayangi, yang bisa diterima tanpa syarat dan tanpa kata "tapi".
Semoga arah yang baik akan segera datang, entah untuk kehidupanmu atau untuk kehidupanku.
Hingga waktu itu tiba, kita sudah berdamai dengan keadaan.
Saat kau tak perlu terganggu dengan segala hal tentangku.
Dan aku tak perlu lagi tahu dan mengenang segala hal tentangmu.
Untuk kita yang sama-sama gegabah dengan perasaan, untuk kita yang sama-sama payah dalam mengakhiri perasaan.
Semoga Tuhan masih mengijabah setiap lantunan do'a, untuk kita hidup dengan kuat dan bahagia walau tak lagi bersama.