Rindu (si)apa yang sedihnya paling kekal?
Bukan rindunya tanah tandus pada segerombolan hujan, sayang..
Juga bukan rindunya sebuah pohon pada hembusan angin.
Rindu mana yang memiliki jarak terjauh di muka bumi ini?
Rindunya seseorang yang diam-diam memelukmu dalam do'a.
Rindunya seseorang yang tak henti-hentinya membisikkan namamu dalam do'a.
Tak terlihat oleh mata siapapun, tak diketahui oleh siapapun.
Semenyiksa itu, merindukan seseorang yang tak selayaknya dirindukan.
Berjuta-juta kali sayatan kekecewaan hadir di hati, tak jua pudar rasa tulus mencintai ini.
Apa yang diharapkan dari seseorang yang penakut?
Dari seseorang yang gemar bersembunyi dan menyembunyikan?
Entah mantra apa yang menutupi mata ini, sehingga masih saja dibutakan oleh rasa ingin memiliki.
Walau jelas tak ada upaya, memperbaiki atau mengobati, yang kau lakukan hanya mengucap maaf beribu-ribu kali.
Tak setimpal dengan kekecewaan yang ku dapat, bukan?
Mencoba untuk singkirkan aroma rindu ini, acap kali aku berhasil, walau terkadang gagal dan terperosok dalam genangan kenangan yang kelam.
Tidak, tak seharusnya aku mengingat kebodohan yang pernah ada.
Bagimu menyenangkan, membanggakan, sedang bagiku menyedihkan dan memalukan.
Bisakah aku menghilang dari semesta ini?
Atau jangan biarkan aku ditemukan oleh sosok sepertimu.
Merindukan setiap inci peristiwa yang pernah dilahirkan, sesak dalam dada pun tak dirasa.
Aku merindukanmu dengan cara yang berbeda, aku merindukanmu bukan untuk dihadiahkan dengan pertemuan sakral.
Aku merindukanmu untuk pembelajaran hidup, bahwa cinta tak pernah terasa cukup.
Tak akan bisa sepasang manusia yang saling mencinta menjadi genap, bila tak sama-sama berkaca.
Coba tanya pada dirimu, mampu kah kau berupaya lebih untuk kebahagiaanmu dan orang asing yang kau inginkan hidup bersamamu selamanya?
Coba bicara dengan dirimu, berkaca pada cermin yang usang itu!
Mampukah kau meyakinkan dunia, untuk apa-apa yang menjadi sumber ketenangan dihidupmu?
Nyatanya, (aku) kau tak akan mampu.
Entah tak mampu atau belum mampu, yang pasti kita sudah menjadi payah sejak awal.
Kini semua menempuh jarak terjauh.
Menyisakan teka-teki yang harus dipecahkan oleh hidup masing-masing.
Sebisa mungkin tak kembali, tak menoleh pada apa-apa yang berada dibelakang.
Walau arahmu sudah terbaca olehku, sedari awal kau hanya ingin singgah.
Tak sedikitpun membawa rasa sungguh dan tak berniat menjadikan ku, satu-satunya tempatmu untuk berpulang.
Aku terus bersusah payah, menyingkirkan semua bayang tentangmu.
Mengambil serpihan-serpihan hati yang masih bisa ku perbaiki sendiri, ini sungguh melelahkan!
Salahku yang tak bisa menjadi sepertimu.
Andai saja aku bisa sepertimu, yang bebas berlari dan melompat kepada jiwa-jiwa baru untuk menyembuhkan luka.
Untuk kali ini, kau hebat dengan segala skenario yang kau buat.
Tapi dilain hari, mungkin saja engkau yang akan menjadi aku.
Menjadi aku yang terlampau sungguh, pada sesuatu yang tak pernah menjadikanku utuh.