Senyumannya ... ah, senyuman itu. Iya, senyumannya, yang selalu masuk dalam labirin-labirin ingatanku. Entah jenis magic apa yang dia lakukan terhadapku, sepertinya pikiran dan hatiku ini selalu haus mengecap sesuatu tentangnya. Awalnya aku mengira ini hanya rasa penasaran saja, rasa simpati atau kagum semata. Tapi setelah aku bertemu dan menatap parasnya yang lugu, aku seperti menemukan aliran positif yang kuat menerkam hatiku, sehingga nadi hingga jantung pun berdetak seolah-olah berlomba untuk mengatakan "Lo harus bisa ngedapetin dia, Davin!" ya, aku harus mendapatkannya! gumamku dalam hati.
Hari silih berganti, sesuatu tentang aku dan dia pun masih ku jalani dengan tenang. Kami bersenda gurau, menemani jiwa yang sama-sama sepi disela waktu yang singkat ini. Aku senang, melakukan hal-hal bodoh saat bersamanya. Apapun akan ku lakukan untuk membuatnya nyaman dan bahagia saat berada didekatku. Entah, padahal belum lama aku mengenalnya, tapi mengapa aku selalu ingin menjadi yang utama dan pertama di hidupnya. Saat dia tersenyum, aku ingin, akulah penyebab utama dari senyumannya. Saat dia bersedih, aku ingin, akulah orang yang pertama membasuh air mata di pipinya. Aku, tak mengerti. Sebelumnya, aku tak pernah semelankolis ini, aku lelaki yang terlalu gengsi untuk menunjukan perasaanku yang sebenarnya. Tapi berbeda, setelah mengenal Eca, aku tak sungkan untuk mengutarakan maksud hatiku padanya.
"Gila ini, bener-bener gila! Davin, davin .... sejak kapan lo jadi mellow kayak gini? gelisah ga jelas nungguin BBM (BlackBerry Messenger) dari cewe yang jelas bukan siapa-siapa dihidup lo!"
ah, sial! terkadang untuk mengendalikan perasaan cinta terhadap seseorang itu sulit, terkadang kita seperti fakir asmara yang mengharap segenggam perhatian darinya. Tergopoh-gopoh aku meraihmu wahai gadis dambaanku.
Malam ini tepat pukul 21.00, saat orang lain (mungkin) sedang bersiap untuk merebahkan tubuhnya, aku sengaja pergi keluar rumah hanya untuk bertemu sang gadis pujaan. Iya, sudah beberapa hari ini aku selalu menunggunya pulang dari tempat dia bekerja dan mengantarkannya pulang ke rumah. Bagiku saat berdua dengannya, bisa menjadi moment istimewa dihidupku, meski tak lama.
Eca gadis yang mandiri, dia bekerja di salah satu pusat perbelanjaan sebagai SPG (sales promotion girl) selebihnya dia juga seorang mahasiswi tingkat akhir di salah satu universitas ternama. Kagum, di jaman yang serba instant seperti ini, masih saja ada orang sepertinya, terlebih dia wanita, kuat sekali dia menjalani kehidupan, memanage waktu untuk bekerja demi uang, uang yang dia gunakan untuk membayar biaya kuliah dan menyambung hidupnya. Ecaaa, ecaa ... gadis kecil, cerewet, ceria namun kuat dan tegar menjalani hidup.
"hai, kamu kok ada disini?" aku tersenyum saat Eca terkejut melihat ku berada di parkiran motor. "Kaget ya, sengaja, aku sengaja jemput kamu, pulang sama aku ya!" bujukku padanya. "oalah, ngga usah repot-repot toh, aku bisa naik kendaraan umum, aku biasa sendiri, sebelum aku kenal kamu, aku sudah biasa pulang kerja sendirian. ngga harus dijemput." jelas eca padaku. Ya, dia memang seperti itu, tak mau merepotkan dan menjadi beban hidup bagi orang lain. Tapi aku rasa, aku pantas memberinya perlakuan yang special. Aku bertanya pada Eca, mengapa dia menolak ajakan pulang bersamaku. Jawabannya singkat, dia berkata, dia tak mau merepotkan ku, dia tak mau menjadi gadis yang manja, dia ingin menjadi seseorang yang tegar bisa berdiri sendiri. Itu alasan yang terlontar dari bibirnya, tapi bukan Davin namanya jika tak bisa membujuk seorang wanita, hahaha ketahuan kalau aku seorang playboy! Tapi tidak untuk Eca, aku serius, benar-benar ingin memilikinya secara utuh.
Akhirnya Eca mau duduk dibelakang jok motorku, ku kendarai motor secara perlahan, ku biarkan suasana malam yang dihiasi bintang dan lampu-lampu kota itu menyinari perjalanan pulangku dan Eca.
"Kamu kok bisa sih, jemput aku ke tempat kerja? Padahalkan sudah cukup larut malam!" Eca memulai pembicaraan, aku hanya bisa menjawab, aku sengaja menjemputmu. Karena aku tau, kamu pasti susah mencari kendaraan pulang saat malam seperti ini. Ku dengar Eca tertawa kecil, yang kusimpulkan sebagai rasa bahagia karena ulah ku. Eca, Ecaa .. jangankan menjemputmu ke tempat kerja, ke bulan? ke angkasa? ke planet Neptunus pun, aku sanggup! Tuh kan, mulai melankolis dan lebay lagi, Davinnnn, sial, sepertinya aku terlampau jauh jatuh hati pada Eca. Entah apa yang kurasa, Jantungku mulai berdegup kencang, lingkar pinggangku sepertinya agak kaku, tapi hangat, iya hangat, ternyata ada kedua tangan Eca yang melingkar jelas di pinggangku. Iya, teruslah memelukku erat, lingkarkan tanganmu, biarkan angin malam bersemilir menusuk tulangmu, kamu merasa kedinginan bukan?
Sayangnya perjalanan pulang ke rumah Eca tak terlalu jauh, aku berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Segera Eca melepaskan tangannya dari lingkar pingganggku dan turun dari motor, tak banyak kata-kata yang dia ucapkan, hanya ucapan terima kasih kepadaku ditambah senyuman manis darinya. Senyuman manis yang menjadi penghias malam, pengantar mimpi indahku saat tidur. Eca semoga besok akan lebih baik dan kita bisa lebih dekat lagi, pintaku pada Tuhan.
Keesokkan harinya, aku lebih bersemangat tak seperti biasanya. Hahaha, jelas bersemangat! Pagi ini, aku sudah disapa oleh Eca, iya ... meski via BBM (BlackBerry Messenger) tak masalah yang penting ada respon positif darinya, lampu hijau yang berarti aku boleh mengenalnya lebih dekat.
Pukul 09.00 wib, waktunya kuliah. Tapi baru saja aku menyalakan mesin motor, suara teriakkan Ibu sudah terdengar, teriakkan menyuruhku untuk minum obat. Iya, obat! Sudah bertahun-tahun aku berteman dengannya, bentuknya mini bahkan tak sampai sebesar jari kelingking, tapi khasiatnya luar biasa, bisa membantu jantungku agar tetap berfungsi dengan normal. Maklum dari kecil aku selalu meminum butiran kecil berwarna putih ini, mungkin jika aku telat meminumnya aku akan berubah menjadi monster atau mutan! hih, efek suka menonton film kartun dan action terkadang suka mempengaruhi daya imajinasi ku.
Siang ini sepulang kuliah, aku mengajak Eca bertemu. Disebuah cafe tak jauh dari tempat dia bekerja. Kami tertawa, bercerita tentang kegiatan sehari-hari sambil ditemani menu makan siang yang kami pesan. Simple but nice! Disela obrolan, aku mencoba untuk menanyakan sesuatu tentang hal pribadinya. Lelaki yang sudah lumayan lama selalu ada dan selalu memperhatikan wanita secara diam-diam, pasti akan melontarkan pertanyaan yang sama pada wanita pujaannya, "Sory, aku mau nanya Ca! kalo boleh tahu, sekarang kamu lagi deket sama siapa aja?" Eca terkejut, iya hanya menjawab "aku lagi ngga deket sama siapa-siapa, sekalipun ada cowo yang deket, mereka ga lebih dari sekedar temen buat aku!" jelasnya, sambil melanjutkan mengunyah makanannya. Terima kasih Tuhan, seruku dalam hati. Itu artinya, aku bebas mendekati Eca tanpa ada halangan sedikitpun, iya ku harap seperti itu.
Pertemuan ku dengan Eca, tak berhenti sampai disitu. Setelah makan siang yang kemarin, hari-hari selanjutnya kami semakin dekat, aku juga sudah berhasil kenal dengan keluarga Eca, Mama dan Papa nya. Satu kata "bersyukur" itu yang selalu ku ucapkan dalam hati saat tersadar bahwa aku telah dan selalu melewati waktu bersama nya. Tak sulit bagi kami untuk mengerti, memahami, mengisi, melindungi sesuatu yang kami anggap berharga. ya, walaupun sampai detik ini belum ada sesuatu yang pasti antara aku dan Eca.
Entah, padahal hati ini sudah yakin dan memantapkan dirinya untuk mengakui bahwa dia lah sosok wanita yang selama ini ku cari. Tapi kenyataan berkata lain, sulit aku untuk memintanya menjadi sosok pendamping hidup. Bukan karena aku lelaki pengecut, tapi memang karena aku takut, takut akan sesuatu yang terjadi, takut akan kehilangan, takut akan diabaikan, jadi satu-satu nya cara, ya .. dengan seperti ini, aku bebas berada disampingnya menemaninya selama aku mau dan selama dia meminta. Aku kuat Tuhan! Aku harus kuat, demi dia!
Senang rasanya melihat seseorang yang kita cintai tersenyum bahagia, tertawa lepas tanpa ada beban diraut wajahnya. Ya, itu yang sudah ku lakukan padanya. Hari ini aku menemani Eca (lagi) hanya untuk menemani nya jogging dan bermain bola basket. "Gila nih, cewe! kira gw ga akan pernah kenal sama olahraga yang namanya basket, secara untuk cewe kayak dia, kurang pantas berolahraga seperti ini." gumamku dalam hati
"Vin, awas!" huuuh seketika tangan ku refleks menangkap bola basket yang datang ke arah ku "Aduh, maaf ya ... ngga ada maksud buat ngelempar bola ke muka kamu kok, Vin! maaf ya ... lagian kamu, main basket kok melamun, mikirin apa toh?" tanya Eca, seraya memberikan air mineral padaku.
Aku baru tersadar, ternyata tadi aku melamun, terpukau akan permainan basket Eca. Tak sadar pula, banyak keringat yang keluar dari pori-pori telapak tanganku, segera ku raih handuk yang tersimpan di tas ku. Mungkin Eca kaget akan hal ini, tapi aku sudah biasa. "Muka kamu kok, pucat? bibir kamu juga!" ucap Eca
ah, sial ! Kenapa dia harus menyaksikan ku dalam keadaan seperti ini, disaat keadaan yang sebenarnya sangat memalukan untukku, yang ku harap dia takkan pernah tau. "Vin, Davin! kamu ngga apa-apa kan?" tanya Eca lagi, kali ini kurasakan sentuhan halus dan hangat di pipiku, jantungku berdegup semakin kencang dan tak beraturan, masih kulihat jelas wajah Eca tepat didepan mataku, menyentuh pipi dan keningku berkali-kali, sampai akhirnya kurasakan bumi ini berputar. Setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi, ku tak sadarkan diri.
Saat tersadar, aku telah berada di kamar dan ku dapati dua sosok perempuan yang terlihat mengkhawatirkan keadaan ku. Ibu dan Eca, saat aku siuman mereka hanya tersenyum, Ibu memberikan aku segelas minuman tradisional, segelas air hangat dicampur dengan serbuk kunir putih. Kata Ibu ini bagus untuk menjaga jantungku. "Itu jamu tante?" celetuk Eca yang mungkin aneh melihat seorang lelaki seperti ku meminum minuman yang mirip dengan jamu. "Itu ramuan tradisional kunir putih, sayang!" jawab Ibu singkat, seraya meninggalkan kami berdua. Aku menghabiskan air kunir putih itu, tak mempedulikan apa yang ada dibenak Eca. Eca menatap ku, masih menatap ku.
Tiba-tiba kurasakan sentuhan hangat di telapak tangan ku, Eca menggenggam ku erat, seolah takut akan kondisi ku sekarang, matanya pun berkaca-kaca. Sepertinya akan turun hujan sore ini, sama seperti Eca yang tak bisa menahan air mata yang tertampung di kedua matanya. Untuk kali pertama, aku melihatnya menangis, mengeluarkan air kesedihan. "heii, ada apa denganmu, kenapa kamu menangis?" Eca tak sanggup menjawab pertanyaanku, dia hanya menggelengkan kepalanya. Ku sentuh kedua pipinya, ku basuh air matanya, hingga ku lihat dia sudah bisa melengkungkan senyum di bibirnya. "Kamu tenang ya, aku udah biasa kayak gini kok! Cuma kecapean, ngga perlu khawatir, oke!" jelasku padanya, mencoba memperbaiki suasana. Akhirnya Eca memutuskan untuk pulang, untuk kali ini dia pulang sendiri, tanpa aku yang biasa mengantarkannya pulang.
Semenjak kejadian itu, sebenarnya aku malu pada Eca. Malu dengan keadaanku, dengan kelemahan ku, jika sudah seperti ini aku hanya bisa merenung. Merenungkan nasib cintaku pada Eca, memang sampai sekarang aku belum sempat mengatakan isi hatiku, belum berani tepatnya! Iya, aku takut Eca mengabaikan rasa tulusku ini. Gadisku, apa kamu tahu keadaan pria yang mendambakanmu selama ini?
Waktu demi waktu ku lalui, tetap menjadi seseorang yang mengagumi nya, tetap menjadi seseorang yang selalu ada untuknya, dengan kekurangan dan kelebihan yang kumiliki.
Pikiranku bercabang, memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak ku pikirkan. Tentang Ibu, kesehatan ku dan masih tentang Eca. Aku tak tahu dengan apa yang ada didalam pikiranku ini, seperti orang yang melakukan perjalanan jauh dan berakhir dengan sambutan jalan buntu. Aku berpikir seolah-olah aku ini sedang menegakkan benang basah dan kering, suatu hal yang mustahil, percuma, sia-sia. Apa salah jika aku mencintainya? Apa salah jika aku tetap menginginkannya? Apa mungkin, aku bisa memilikinya? Dengan keadaan yang lemah seperti ini! Jangankan untuk melindunginya, untuk melindungi diri dari penyakit yang terus menggerogotiku saja, aku lemah, aku kalah, aku tak kuasa! Tapi aku tak ingin menyerah Tuhan ... Aku masih, sangat ingin bisa selalu ada disampingnya, disaat suka dan duka menghampirinya. Aku sadar, dia tak pantas untukku atau aku tak pantas untuknya?
Detak jantungku semakin tak beraturan, sesak rasanya, sakit, semakin kurasa rapuhnya jantung ini. Seandainya aku bisa mengungkapkan isi hatiku padanya, wahai gadis pujaanku. Jika sudah seperti ini, hanya butiran putih kecil yang ku tenggak untuk meringankan sakitku. Seandainya kau tahu, disetiap awal dan akhirnya hariku hanya kamu yang selalu ku pinta pada Tuhan. Agar aku, senantiasa bisa menjadi malaikat pelindung bagimu.
"Dear, Resya Dwi Pertiwi, aku Davin Hermansyah akan selalu mencintaimu, agar kau tahu Cintaku padamu tak kenal lelah dan lemah! iya, tak seperti jantungku."