Terjadi kesalahan pada suatu peristiwa dalam hidupku. Kesalahan yang sangat fatal, bagiku. Iya, fatal. Benar-benar fatal, hingga melukai hati tiap-tiap jiwa yang menyayangi ku.
Sungguh ini jauh di luar dugaan, aku tak berniat melakukan ini semua. Entahlah, peristiwa itu terjadi begitu saja, dan sekarang aku harus menanggung semuanya. Buah dari hasil yang telah aku perbuat, meski bukan keinginanku.
Aku Satria, di umurku yang ke 25 tahun ini, aku telah memiliki putri bernama Chalista dari seorang wanita yang menurutku cukup tangguh, ia adalah Jean.
Layaknya seorang istri dan Ibu bagi suami dan seorang anak yang baru lahir, Jean mampu menghadapi setiap cobaan yang menerjang kehidupan rumah tangga kami.
Bagi seorang pria, memiliki anak dalam umur 25 tahun itu tergolong muda. Karena bagi kebanyakan kaum adam, umur 25 tahun itu adalah umur kejayaan untuk mencari bekal hidup, memperkaya diri atau bahkan menikmati surga dunia yang berwujud para wanita. Sungguh gila bukan, pemikiran pria-pria ini? Tapi tenang, untungnya tak semua setuju dengan pernyataan yang terakhir.
***
"Satria, nanti malam kamu bisa pulang cepat, kan?
"Aku tak tahu. Jika tak ada meeting, mungkin aku bisa cepat pulang ke rumah."
"Baiklah, beri aku kabar jika kau akan pulang cepat, ya !" Ucap Jean sambil menyimpulkan senyumnya padaku.
"Akan aku usahakan, Jean" Bergegas aku pergi ke kantor.
***
Aku terpaksa bekerja untuk menghidupi wanita yang aku nikahi, padahal seharusnya aku masih duduk di bangku kuliah pasca sarjana fakultas hukum. Tapi sudahlah, tak ada gunanya aku mengeluh pada semesta. Karena mungkin, aku memang pantas mendapatkan ini. Akibat pergaulan bebas, aku jadi harus menikahi wanita yang sebenarnya tak terlalu aku cintai dan aku dambakan. Meski Jean cantik, hampir memiliki semuanya dan berasal dari keluarga yang cukup berada, tapi tak sedikitpun aku mampu mencintainya dengan tulus. Iya, mungkin karena Jean bukan tipe wanita yang aku inginkan selama ini.
Sudah hampir satu tahun aku menikah dengannya, tapi tak juga kurasakan kenyamanan bersamanya. Bukan karena Jean yang tak bisa mengurus ku sebagai suaminya, bukan. Tapi karena tingkah ku sendiri, yang selalu sibuk dengan pekerjaan dan terkadang aku mengacuhkan Jean. Tak memberi kabar seharian, pulang larut malam hanya untuk menghindarinya seharian. Sebenarnya, aku bisa saja memilih untuk menjadi mahasiswa, melanjutkan pendidikan pasca sarjanaku dan memilih pergi untuk meninggalkan Jean bersama darah dagingku yang telah ku tanam secara tak sengaja. Hahaha ... tak sengaja? Maksudku darah daging dari hasil kegagalan kami yang tak bisa mengendalikan hawa nafsu.
***
*beep beep beep* Suara getaran handphone dimeja kerjaku. Sudah ku duga itu pesan singkat dari Jean, yang ia kirimkan hanya untuk mengingatkan ku makan siang. Jean .. Jean, semua orang termasuk aku, pasti takkan pernah lupa untuk makan siang. Kamu tak perlu repot-repot melakukan hal itu setiap hari. Kamu tak perlu menyibukkan harimu dengan mengirimkan pesan singkat untukku, aku bukan anak kecil. Cukup kamu urus saja Chalista yang baru berumur 3 bulan itu.
Aku memang satria yang jahat. Yang tak pernah tahu dan tak pernah mau tahu mengenai istrinya sendiri. Tapi percayalah, apa dan semua yang telah ku lakukan ini, sudah cukup baik untuk Jean, sudah cukup baik untuk Chalista anakku, sudah cukup baik begi semua keluarga besar kami berdua.
***
Malam ini, aku mematuhi keinginan Jean. Aku pulang lebih awal, Jean telah siap menungguku di meja makan dan menyambutku dengan dandanannya yang anggun.
"Sayang, sudah selesai mandinya? Ayo segera makan, sebelum dingin. Tadi aku menelpon Ibumu."
"Menelpon Ibu, untuk apa?"
"Aku sengaja menelpon Ibu, aku menanyakan resep soup ikan tuna kesukaanmu. Dan sekarang, saatnya kamu mencoba soup buatanku!" Dengan sedikit memaksa ia menaruhkan soup di mangkuk kecil itu untukku.
Jean bukan seorang wanita yang gagal menghadapi kodratnya. Ia pandai memasak, setiap masakan yang baru pertama kali ia buatkan untukku, rasanya cukup nikmat masuk di tenggorokkan hingga perutku. Aku memang tak bisa menyepelekan perjuangan wanita ini untuk membuatku jatuh cinta padanya. Tapi lagi-lagi, aku belum bisa menerimanya dengan tulus. Karena dihatiku masih tersimpan cinta untuk Tiara. Karena keadaan yang buruk ini, nyaris saja aku membuat Tiara bunuh diri karena harus menyaksikan aku yang terpaksa menikahi Jean.
Aku bukan pria yang sempurna, yang bisa membahagiakan semua wanita yang tulus mencintaiku. Aku tahu, Tiara amat sangat mencintaiku, dan ia juga pasti tahu bahwa aku pun memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Jika tidak, mana mungkin aku menghabiskan 3 tahun bersamanya, meski hanya dalam status berpacaran saja. Setelah aku menikah, Tiara memilih untuk pergi dan membuang semua kenangan tentangku. Menjauh dari kehidupan ku dan dari semua yang berhubungan dengan ku, sepertinya ia tak ingin lagi peduli akan semua yang terjadi dalam hidupku. Andai saja Tiara masih berada disini bersamaku, masih menerima kehadiranku disisinya meski aku sudah berstatus sebagai suami dari wanita lain. Seandainya ..
***
Mengenai Tiara yang sudah tak ingin tahu lagi tentang hidupku. Tentang semua perjuanganku mempertahankan cinta untuknya, tentang semua perjuanganku untuk dapat bertemu lagi dengannya, tentang semua perjuanganku melawan ego yang semakin hari semakin menggerogoti pikiran ku. Ego, dimana aku harus kembali mengejar dan meraih Tiara yang selama ini selalu aku cintai atau ego yang mengharuskan ku menjadi ayah dan suami yang baik untuk anakku Chalista dan untuk Jean istriku.
Aku satria yang lemah, yang harus mengalah terhadap keadaan yang ku buat hancur sendiri. Aku tak tahu, apakah yang selama ini aku lakukan sudah benar. Sepertinya aku sudah banyak melakukan kesalahan pada kedua wanita itu, pada Jean dan Tiara. Mengenai Tiara, aku tak yakin dapat membuatnya bahagia kembali meski aku mencoba menemuinya. Sekarang aku hanya bisa melakukan dan memberikan yang terbaik untuk apa-apa yang sudah ada di depan mataku, untuk Jean dan untuk buah hati kami, Chalista.
***
Tuhan, tolong jangan beritahu Jean. Jangan beritahu Jean, bahwa selama ini aku belum bisa memberikan cinta dan kasihku seutuhnya. Bahwa aku belum bisa percaya dengan semua yang terjadi dan yang sudah aku lewati bersamanya. Jangan beritahu Jean, mengenai bayang Tiara yang masih menari-nari dipelupuk mataku. Jangan pula kau beritahu Jean, bahwa sampai detik ini, aku masih berusaha untuk bisa menerima dan mecintainya sebagai wanita yang terakhir dihidupku.
Tak ada yang bisa kurasakan dari sentuhan Jean, meski itu penuh dengan kelembutan. Bagaimana bila aku tak mampu lagi berbohong padanya?
Bahwa aku tak mampu lagi hidup dalam kepalsuan, pura-pura senang mencintainya. Bagaimana bila itu terjadi Tuhan?
Apa yang harus aku katakan, apa yang harus ku jawab saat ia meminta ku untuk berjanji menjalani cinta sehidup semati bersamanya?
Setiap ku membuka mata, selalu itu yang merasuk kedalam pikiranku. Semoga saja, aku tak sampai hati untuk menyakiti dan menyayat perasaan Jean (lagi) yang sudah mencintaiku dengan tulus. Semoga selamanya aku bisa menjaga rahasia ini, dan semoga suatu saat nanti aku mampu membalas cintanya dengan ketulusan. Satu pintaku Tuhan, tolong jangan beritahu Jean mengenai hal ini!
Lo masuk nominasi the liebster award dari gue. Cek ya :) -> http://komedi-romantis.blogspot.com/2014/08/the-liebster-award.html
BalasHapus