Terbiasa bertemankan malam membuat kau melupa mengenai teman yang siap menemani mu secara utuh, Tuan.
Perihal melupakan dan dilupakan. Satu sisi ada jiwa yang bersikeras mengingatkan. Sedang sisi lain, segera melupakan dengan penuh kebanggaan.
Tapi aku takkan risau, Tuan. Sebab semesta tak pernah ingkar dalam memberi kejutan dan menghadiahkan karma pada ia yang pantas mendapatkannya.
Maaf, bukan maksudku untuk mendendam. Jika saja kau bersikap manis. Mungkin sudah ku persembahkan pujian dalam do'a untukmu, Tuan.
Bukan seperti sekarang ini. Aku pembencimu yang tak kuasa berpaling dari sosokmu. Aku pembencimu, sekaligus puan yang takkan berhenti merindu. Merindukanmu.
Karena merindukanmu, bagian terbaik dalam hidupku. Sebuah kebahagiaan yang hakiki, meski semua hanya mimpi. Setidaknya karena itu aku berdiri.
Senin, 30 Maret 2015
Minggu, 29 Maret 2015
(Masih) Tentang Tuan
Barang kali, memang begitulah cinta. Meski nyata memberi luka namun selalu terganti dengan suka. Berkali-kali terjatuh tapi tak juga mengeluh. Bukan maksud untuk berlagak tangguh. Tapi jiwa memilih untuk menangguhkan hati, dari pada mengeluh dan menjauh dari sumber kebahagiaan itu.
Mencintaimu lagi dan lagi. Terus seperti itu tanpa henti. Bukan maksud merendahkan diri pada sosok sempurnamu. Tapi apa daya, memang begitu adanya. Dan mengenalmu sekaligus mengenangmu, memang itu tugas yang diberikan Penguasa waktu padaku. Berkali-kali aku mengelak, sebanyak itu pula aku sesak.
Jejakmu kembali menuntunku ke masa itu. Berlalu tapi tak jua bisa habis ku lalui. Jejakmu terekam jelas, masih bisa ku cari dan ku tapaki. Perihal kepergianmu yang tak sengaja aku kutuk dalam do'a. Melarang dan menahanmu sekuat tenaga. Namun percuma, kini kau sudah terlalu jauh melangkah.
Karena engkau, Tuan. Segala bahasan yang takkan habis dalam pikiranku. Mengalir dan menjalar setiap waktu, mengkontaminasi kewarasanku.
Tuan. Engkau tempat segala harap bermunculan. Tempat segala angan terpendam yang di inginkan menjadi nyata. Dimana sumpah dan do'a di tangguhkan.
Sedikit demi sedikit kewarasanku mulai terkikis. Saat ego untuk menguasai seisi duniamu semakin bengis. Tak jarang, disisi lain aku menangis. Menangisi asa yang tak kuasa ku jadikan nyata bersamamu. Tuan, maaf atas segala harapku yang berlebih. Disini, masih ada hati yang penuh rindu dan tak jarang merintih.
Langganan:
Postingan (Atom)