Di sini sendu, samar-samar terdengar rasa yang merindu. Menggebu-gebu karena lama tak terbalaskan. Entah memang tak terbalas atau tak sempat di balas. Yang pasti di sini ada rindu yang tak terpaut waktu. Mengenai hati yang menunggu, yang tak pernah jelas mengenai waktu untuk mengakhiri rindu itu.
Di sini mendung, awan bergumpalan di atas. Menaungi sanubari yang semakin hari semakin ringkih. Ringkih ditelan waktu, menunggu dan menunggu tanpa ada kata jenuh. Tetap menunggu meski telah jelas-jelas jatuh dan tertatih. Ini sulit tapi tak ada kesulitan yang berarti. Sangking terbiasanya bermain dengan kesunyian dalam menunggu sang penawar rindu.
Di sini pilu, kelu bahkan sudah membeku. Sejauh mata melihat, hanya ada satu yang terlihat. Sesosok bayang semu, tak nyata tapi mampu memberi senyum. Seketika hati itu merekah kembali, memancing kebahagiaan masuk dan mengisi semua rongganya. Entah apa ini benar atau salah, tapi sosok itu fiktif tak dapat disentuh oleh raga hanya bisa dirasa oleh jiwa hingga menjelma dalam sebuah bayang. Bayangan sosok itu, itulah yang ditunggu. Yang membuatnya selalu menunggu.
***
Di sana penuh haru. Meski tak pernah bertemu, tapi hati ini yakin bahwa sosok yang ditunggu itu, selalu penuh dengan kejutan. Kebahagiaan tak pernah bosan menemaninya. Segala kebaikan Tuhan selalu larut di dalamnya. Hati yang menunggunya inilah yang meronta-ronta pada Tuhan, untuk melindungi sosok yang ditunggu yang menurutnya sangat berarti di semesta ini.
Di sana selalu dihiasi senda gurau. hidupnya tak pernah peduli pada hati yang menunggu. Geraknya sangat bebas, hingga menciptakan jarak yang jauh dengan hati yang menunggunya itu. Tak pernah tahu dan mau tahu mengenai apa yang terjadi pada hati yang menunggu. Baginya, hidup ini sudah cukup sempurna tanpa hati yang menunggu. Yang hanya bisa menganggu.
Di sana biru, teduh. Tak seperti di sini yang abu. Cerah, berbinar-binar penuh dengan warna warni menyejukkan rasa. Tak kenal pilu dan kelu. Bahkan sosok yang ditunggu itu tak pernah akrab dengan kata sendu dan rindu. Karena ia tak pernah tahu apa itu menunggu. Hidupnya normal cenderung sempurna, tak pernah berharap pada sesuatu yang semu. Karena ia sumber pengharapan bagi hati yang menunggu.
***
Di sini dan di sana. Perbedaannya sungguh terasa, kacau. Tak bisakah untuk memberi penghargaan sedikit saja pada hati yang menunggu?
Di sana, mungkin tak menginginkan. Tapi di sini sangat menginginkan, sangat! Di sini rapuh, tak tahukah wahai yang di sana?
Di sana, acuh. Selalu mengacuhkan. Sedangkan di sini terlampau peduli, tak bisa membalas untuk mengacuhkan yang di sana. Menunggu dan menunggu meski berakhir kelabu, tak pernah ia mengeluh meski terkadang ia menuntut kebahagiaan untuk hidupnya juga.
Di sini dan di sana. Tak bisakah bertemu atau di pertemukan?
Bertemu di suatu ruang yang penuh, penuh akan rasa haru dan warna biru yang mampu menyejukkan keduanya. Terutama menyejukkan hati yang selama ini menunggu. Bertemu dan di pertemukan di suatu tempat, tempat yang berisi kebahagiaan dan harapan bagi keduanya. Terutama bagi hati yang selama ini menunggu. Mungkin ruang dan tempat itu bisa di ibaratkan istana. Ya, istana!
Di istana yang mungkin tak bisa bertahan lama. Yang mungkin tak bisa bertahan lama, tak seperti rasa rindu yang kekal, yang dimiliki hati yang menunggu itu. Yang mungkin pula tak bisa bertahan lama, tak seperti keberuntungan yang kekal pada hati yang ditunggu itu. Keberuntungan untuk yang di sana, yang ditunggu. Karena beruntung selalu diharapkan dan di inginkan oleh hati yang menunggu, di sini.
Terima kasih, award pertama yang saya terima di tahun 2015. Sekaligus Liebster Award ketiga yang saya terima dari teman-teman blogger :)
BalasHapus