Kamis, 17 Oktober 2013

Seandainya

Ini hanya jentikan jemari kecilku, yang lincah menari-nari menyentuh satu persatu huruf di keyboard laptop hingga membentuk sebuah kata sampai kalimat sederhana yang menurutku cukup indah namun menyayat perasaan bagi seseorang yang (mungkin) mengalaminya. Dari sebuah kata "Seandainya", aku bisa menciptakan jutaan-jutaan frase yang mungkin ada di dalam benak seseorang yang pernah dicinta dan mencinta.
  • Seandainya aku tak bertemu dengan mu, mungkin aku takkan pernah merasakan jatuh hati yang teramat bahagia dan mengesankan di dalam hidupku.
  • Seandainya aku tak mengenal mu, mungkin aku takkan pernah merasakan kasih sayang yang teramat dalam terhadap mahluk Tuhan yang nyaris sempurna di dalam hidupku.
  • Seandainya kamu tak mengijinkan aku untuk menemanimu di setiap waktu yang kamu miliki, mungkin cerita hidupku takkan pernah seindah ini.
  • Seandainya aku tak sedekat ini denganmu, mungkin aku takkan pernah merindukan saat-saat dimana hanya ada kita (aku dan kamu) di singkatnya kehidupan yang kita miliki.
  • Seandainya kamu tak mengijinkan aku untuk mencintaimu, mungkin aku takkan pernah merasakan rindu yang bergelora di dalam hati, yang meletup-meletup sampai terkadang memberikan rasa sakit dalam hatiku. 
  • Seandainya aku tak pernah merindukanmu, mungkin aku tak pernah bertemankan lagu-lagu mellow di setiap malam ku saat ini.
  • Seandainya aku tak pernah menyayangimu, mungkin aku tak perlu berlelah-lelah merasakan rindu dan penantian.
  • Seandainya aku tak pernah peduli dengan mu, mungkin aku tak perlu sibuk memperhatikan tingkah polah dan gerak gerik yang kamu lakukan.
  • Seandainya aku tak mencintaimu, mungkin aku tak perlu menyisihkan do'a dan harapanku untukmu kepada Tuhan.
  • Seandainya aku tak berharap kepadamu, mungkin sekarang aku tak perlu mengeluarkan butiran-butiran air mata yang menetes dari perih luka kalbu yang mendalam.
  • Seandainya aku tak menantikanmu, mungkin sekarang aku telah bersanding dengan salah satu anugerah nyata yang Tuhan ciptakan.
  • Seandainya Tuhan tak menggariskan takdir untuk mempertemukan kita (walau sekejap), mungkin aku takkan pernah mendapat pengalaman mencintai dan dicintai seseorang seperti kamu.
  • Seandainya waktu itu aku tak melakukan hal yang membuatmu merelakanku, mungkin kini masih ada aku dan kamu (kita) yang berbagi gelak tawa diantara dinginnya hembusan angin malam.
  • Seandainya kamu bisa lebih bersabar dan berjuang untuk bertahan dengan cinta ini, mungkin kita masih bisa mengucapkan "selamat tidur & mimpi indah" dan mengawali hari dengan sapaan "selamat pagi" dihiasi emoticon titik dua bintang ( :* )
  • Seandainya aku bisa melarang mu untuk meninggalkan ku waktu itu, mungkin sekarang aku takkan merasakan rasa rindu sendirian.
  • Seandainya kamu bisa memberi pengertian lebih kepadaku, mungkin sekarang aku akan selalu dan selalu bahkan tiada henti untuk selalu mengertikanmu.
  • Seandainya aku masih bersamamu, mungkin aku masih rajin menatap layar ponselku hanya untuk menunggu dan mendapat kabar darimu.
  • Seandainya kamu masih bersamaku, mungkin kamu masih marah-marah dan dengan kekanak-kanakannya cemburu padaku bila aku terlalu dekat dengan yang lain.
  • Seandainya saat ini kita masih bersama, mungkin kita takkan merasakan pahit nya meredam kasih sayang di antara kita berdua (mungkin, jika masih sayang).
  • Seandainya waktu bisa di putar kembali, mungkin aku akan mengulang semua dari awal. Bertemu, berkenalan, menyayangi, mencintaimu dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang selalu kamu senangi.
  • Seandainya aku masih bersamamu, mungkin aku takkan setegar ini. Tanpa sosokmu disini. Iya, tak ada kamu disini.
  • Seandainya kita tak berpisah, mungkin aku takkan merasakan kehidupanku yang sekarang dan mungkin aku takkan bertemu dan mengenal sosok baru seperti dia :')  
Silahkan berandai-andai, sesuka hatimu, seindah anganmu, selama lamunanmu. Asalkan kamu bisa mewujudkan semua pengandaianmu, dan bangkit menatap kenyataan dari pengandaianmu. Seandainya, satu kata yang penuh makna.

Jumat, 11 Oktober 2013

Secangkir Kopi Di Awal Oktober

"Hi, October? Be a nice please !!! :') " Itu adalah kicauan pertama di Twitter untuk pagi yang cerah di bulan Oktober ini. Tak cuma di Twitter saja, itu juga salah satu do'a ku di awal bulan ini, yang ku harap penuh dengan kejutan. Semua manusia di bawah kolong langit ini pasti selalu menginginkan kebahagiaan, selalu berharap agar senyuman Dewi Fortuna itu masih selalu menyapa kehidupan. Ya, yang kita inginkan hanyalah berhasil, beruntung dan bahagia. Tapi sebagai perempuan biasa, aku tak pernah berharap banyak. Yang ku harap dan yang ada di dalam pikiranku hanya sesuatu yang sederhana. Iya, sederhana. Seperti sesederhana kebahagiaan yang ku dapat saat melihat senyum yang melengkung di bibir Bagas. Bagas, lelaki bertubuh tinggi dan kurus yang memiliki sifat egois terhadap pasangannya, pencemburu, cuek, tapi cukup penyabar. Karena semua itu lah, aku bisa menyayangi nya hingga saat ini. Tak terasa sudah genap 3 tahun aku melewati hari-hari bersama Bagas.

Inilah aku, Laras Dwi Ningtiyas, anak bungsu dari dua bersaudara. Banyak orang mengatakan, di usiaku yang hampir 20 tahun ini, aku masih saja tetap manja, masih suka tertawa terbahak-bahak sambil mengulum permen lolipop, bahkan masih menjerit jika melihat seekor kecoak melintas di sela-sela ruangan kamar mandi, hmm .. apalagi ya, hal kekanak-kanakan yang masih melekat di diriku?
Entah lah, aku tak pernah terlalu memperdulikan kicauan orang-orang itu. Bagiku, mereka hanya orang yang kurang kerjaan, yang menyibukkan diri dengan memperhatikan tingkah polah orang lain. Yaa, seperti memperhatikan dan mengomentari tingkah polahku. Untung Tuhan selalu memberikan keberuntungan kepadaku, mengirimkan seorang malaikat penjaga yang tampan untukku, siapa lagi kalau bukan Bagas?! Ya, ya, ya .. Berkat Bagas, aku selalu memiliki alasan untuk tersenyum dan bahagia menjalani hidup dan tidak mempunyai waktu sedikitpun untuk memperdulikan ocehan-ocehan diluaran sana.

Kebahagiaan itu selalu kami ciptakan bersama disetiap harinya. Seperti hari ini misalnya, sore hari nanti aku dan Bagas akan bertemu di salah satu cafe favorit kami. Cafe? kenapa tidak di Resto? Sebagian pasangan sangat senang menghabiskan waktu berdua bersama pasangannya di sebuah meja restoran mewah dengan dua buah kursi, aneka hidangan yang nikmat dan diterangi sepasang lilin menyala yang menambah atmosfer kehangatan diantara mereka. Tapi tidak bagi kami, aku dan dia tidak terlalu suka suasana yang romantis. Kami lebih nyaman bersenda gurau berdua sambil menikmati kopi, saling mengejek kelemahan masing-masing.Tapi entah kenapa, dengan semua kekurangan dan kelemahan yang kami miliki, malah semakin menambah rasa kasih sayang diantara kami. Saling menerima, mengerti, memahami dan melengkapi satu sama lain. Inikah ketulusan? Entahlah, yang pasti selama kurun waktu 3 tahun ini, Bagas selalu menghadirkan letupan-letupan kejutan di dalam hatiku. hahaha terlalu berlebihan memang, tapi inilah cintaku, cintaku bersamanya :')

Waktu menunjukkan pukul 15.00 wib, semuanya sudah siap. Dari mulai Sushi tuna crispy kesukaan Bagas, komik sinchan sampai Nona Laras yang cantik pun sudah disiapkan untuk bertemu dengan Tuan Bagas. Oupss, itu sih diriku sendiri! ahaha
Aku jadi ingat saat pertama bertemu dengan Bagas di cafe itu, dengan wajah yang lugu dan tersipu malu aku menerima secangkir kopi hangat darinya. Disaat aku sedang merasakan penat karena suasana rumah yang bisa ku bilang hampir hancur berantakan. Iya, semuanya hancur, pecah berkeping-keping akibat ulah Ayah yang gemar bermain dengan wanita-wanita malam. Meski begitu, Ibu selalu mencoba merapihkan serpihan-serpihan kecil yang berantakan itu. Berharap Ayah segera sadar dan bisa kembali menyayangi kami seperti dulu. Tapi apa yang Ibu lakukan itu bagai menulis di atas air, Bagai punduk merindukan bulan. Iya, sesuatu yang sulit, yang mustahil dilakukan, karena Ayah selalu saja kumat, selalu bersenang-senang dan menghabiskan sebagian harta kami dengan wanita-wanita yang tak jelas itu. Semenjak saat itu, Kakakku, Rio, lebih memilih untuk mengasingkan diri ke salah satu desa di Banten. Kakak memilih untuk menjadi tenaga pengajar honorer di salah satu SD di desa itu, sehingga hanya aku dan Ibu yang tersisa di rumah. Dan raut wajah Ibu pun tak bisa berseri seperti dulu, jika Ayah pulang pasti saja disambut dengan teguran dari Ibu yang memancing pertengkaran sengit diantara mereka. Jika itu sudah terjadi, aku memilih pergi, menikmati suasan kota di malam hari sendirian.

Dulu, aku tak berani mengenal lelaki sebagai pacar, semua lelaki yang dekat denganku, aku anggap teman dan sahabat, tidak lebih. Sampai akhirnya Tuhan mendatangkan Bagas, membuat hari-hariku sedikit lebih ceria. Bahkan, Bagas lah yang pertama mengenalkan ku pada minuman hitam manis ini, Kopi. Secangkir kopi yang dia suguhkan padaku waktu itu, kopi nya mungkin sama seperti kopi-kopi yang ada di pasaran, tapi entah mengapa rasa dan aromanya berbeda. Bagas bilang, kopi itu suatu minuman racikan yang dibuat oleh barista. Ada arabica dan robusta. Menurutnya setiap kopi yang dihasilkan memiliki rasa dan filosofi yang berbeda, ada espresso, latte, ada juga cappucino, kopi dengan tambahan susu, krim dan bubuk atau serpihan coklat. Katanya, setiap kopi yang diteguk dan di minum dapat memberi rasa yang berbeda bagi si penikmat kopi. Itu semua tergantung dari perasaan seseorang yang menikmati kopi tersebut, jika seseorang menikmati kopi hitam atau rasa original dari ekstraksi Arabica itu tanda bahwa dia sedang merasakan kepenatan, keputus asaan, karena itu sesuai dengan rasa Arabica yang pekat. Berbeda dengan penikmat cappucino dan kopi latte, biasanya dinikmati dengan ditemani gurauan serta canda tawa disetiap tegukan. Entahlah, aku tak begitu mengerti akan kopi, ada berapa varietas kopi, jenis-jenis minuman dari kopi, aku tak tahu. Aku hanya sekedar mendengarkan Bagas saja, kadang aku suka curiga, apa jangan-jangan Bagas itu seorang barista? Entahlah, tapi aku suka cara dia menikmati kopi bersamaku.

Waktu sudah menunjukan pukul 16.30 tepat, sudah hampir setengah jam aku menunggu Bagas tapi sampai detik ini aku belum melihat batang hidungnya. Aku sudah coba menelpon dan mengirimkan pesan ke contact BBM-nya, tapi tak ada respon. Ini tak biasa, tak biasanya Bagas membuatku khawatir. Menghilang tak memberi kabar sedikitpun, padahal dua hari yang lalu dia janji menemuiku disini. Apa mungkin dia lupa? Tak mungkin, Bagas tak pernah ingkar kepadaku. Aku coba menenangkan hati dengan meminum air mineral yang ku genggam, sesekali ku lihat sushi tuna crispy yang ku bawa untuknya. Berkali-kali waitress mendatangi mejaku, menawarkan menu dari olahan kopi, bahkan ia sampai hafal minuman cappucino yang selalu aku pesan bersama Bagas. Tapi aku belum juga memesan minuman itu, aku masih menunggu Bagas.

"Laras"
Aku menoleh, ternyata Bagas. Sosok yang sudah ku nantikan dari tadi. "Ya ampun, sayang .. dari mana aja sih? kok telat, janjinya kan jam empat, kenapa telat sampai hampir satu jam?" aku merengek manja layaknya seorang anak yang rindu pada Ibunya. "Maaf ya, udah buat kamu nunggu lama" ucapnya sambil tersenyum kepadaku. "Iya ga apa-apa, aku cuma khawatir aja sama kamu. Ga biasanya kamu kayak gini." Bagas hanya mengelus-elus rambutku, kebiasaan yang selalu dilakukannya bila bertemu denganku. Dia pergi menghampiri waitress dan segera membawakan ku secangkir kopi. "Ini untukmu" menyodorkan secangkir kopi padaku, tapi aku kaget dan tercengang, ini kopi hitam, ini espresso ekstraksi Arabika yang mempunyai aroma yang sangat menyengat dan rasa yang pekat dimulut. Iya, ini kopi hitam!

Secangkir kopi espresso ini aku nikmati, ku coba untuk meneguknya demi menghargai pemberian Bagas. Aku mencoba mencairkan suasana dengan memulai pembicaraan. "Kamu tadi dari mana, gimana keadaan puffy (anjing), dia masih suka ngerusakin kabel komputer di kamar kamu?" Bagas hanya tersenyum, tak menjawab pertanyaan ku.
"Sayang, Bagas .. what's going on?"
"Please, laras ... maafin aku, aku ga bermaksud buat mempermainkan perasaan kamu." Aku tertegun, tak mengerti dengan ucapan Bagas, sandiwara macam apa ini? Kejutan macam apa ini? Apa ini hari ulang tahunku? sampai-sampai Bagas bersikap cuek, dingin, seolah-olah tak peduli denganku seperti kejutan ulang tahunku beberapa bulan yang lalu. Bagas pun melanjutkan "Aku rasa, kita, aku dan kamu udah ga bisa sama-sama kayak dulu lagi. Kamu sadar, kalau akhir-akhir ini aku sering ninggalin kamu? kalau aku sering menikmati hari-hari sendiri tanpa kamu? Dan apa kamu ingat, tentang keinginan Oma sama aku?" aku menghela nafas, aku tahu memang sudah satu setengah tahun terakhir ini hubungan aku, Bagas dan keluarganya sedikit merenggang. Itu semua karena keinginan Oma, orang yang dituakan di keluarga Bagas. Oma hendak menjodohkan Bagas dengan Prisca, anak rekanan Oma di kantor. Oma memang sudah berumur, tapi dia masih sibuk mengurusi beberapa usaha keluarganya. Selain itu, keadaan bertambah buruk karena Bagas yang melanjutkan pendidikan pasca sarjana diluar kota, sehingga aku dan dia sangat jarang bertemu bahkan berkomunikasi pun seperlunya, hanya disaat kami sudah tak kuat menahan sesuatu yang disebut rindu, pada saat itulah, biasanya Bagas menghubungiku via telepon atau skype. Tapi aku tak mengeluh, aku tak pernah mengeluh dengan keadaan cinta ku sekarang. Karena aku yakin, semua hal apapun itu, terutama cinta, akan indah pada waktunya. Ya, cinta akan indah pada waktunya bagi dua sejoli yang sama-sama berjuang mempertahankan, bersabar dan yakin dengan kekuatan cinta yang mereka miliki.

Tapi, apakah kekuatan cinta yang kami miliki masih bisa bertahan dan di perjuangkan?
Aku masih bersama dia, Bagas. Ya, aku masih bersama Bagas, masih di cafe favorit kami, masih menikmati secangkir kopi espresso, Bagas berkata meski kami sudah tak bisa bersama tapi dia berjanji untuk selalu mendengarkan keluh kesahku mengenai Ayah dan Ibu. Ya, aku masih ditemani Bagas. Mendengarkan ocehan-ocehan nya, dan masih meneguk espresso yang pekat dengan dada yang sesak karena menerima kenyataan cintaku. Kenyataan bahwa aku tak lagi memiliki Bagas, kami berdua, putus!

Bagas mengantarku ke rumah, aku tak mau lagi melihat wajah dan sosoknya dihidupku. Aku benci, meski dia berkata "kita putus secara baik-baik, tetap jaga silaturahmi ya!" Jika memang baik-baik, jika memang semua masih baik-baik saja, mengapa mesti putus?
Tak bisa dibaca oleh nalar, ini semua seperti petir di siang bolong. Hubungan yang kurasa baik-baik saja, penuh dengan pengertian, tiba-tiba saja hancur karena jarak dan keinginan seseorang yang lebih kita sayangi dan dituakan. Mungkin sekarang Bagas mulai mendekatkan diri dengan Prisca dan mengenal perempuan itu lebih jauh. Aku sadar, memang wajar bila Oma menjodohkan cucunya dengan perempuan itu. Prisca perempuan yang cantik, mandiri dan yang terpenting dari keluarga yang bahagia dan harmonis. Tidak seperti ku, perempuan yang masih saja manja, egois dan dari keluarga Broken Home. Aku ikhlas Tuhan, jika memang ini takdir yang Engkau berikan untuk kehidupan cintaku, tapi aku mohon, berikan aku malaikat penjaga yang sekaligus dapat menjadi Imam untuk keluarga kecilku kelak dan aku harap keluarga ku nanti tak seperti keluarga ku yang sekarang, yang rapuh, hancur seperti rumah tanpa pondasi. Karena tingkah kepala keluarga yang buruk.

Kini aku sendiri, mencoba kokoh berdiri tanpa Bagas lagi. Aku masih suka mengunjungi cafe favorit itu, disaat aku masih bersama Bagas, hanya sekedar untuk menikmati secangkir kopi espresso yang hitam pekat. Tanpa disadari Bagas telah merubah selera minum kopi ku, sejak dia memberi ku kopi terakhir di cafe ini, aku jadi gemar menghirup caffein dari kopi espresso ini, memang rasanya pahit tapi entah mengapa, aku nyaman dengan aromanya, harum .. meski saat ku teguk, pahitlah yang lebih kurasa. Semua tak seperti dulu, semua semakin memburuk, bukan hanya keadaan ku setelah pisah dari Bagas. Tapi keadaan keluargaku, Ayah baru saja di opname, melakukan beberapa terapi dan konsultasi. Diagnosa dokter mengatakan bahwa ginjal Ayah mengalami perusakan akibat terlalu banyak mengkonsumsi alcohol selama ini. Entahlah, apa yang harus kurasakan dengan kejadian yang menimpa Ayah. Apa aku harus sedih? atau harus senang dan mengucap syukur, karena dengan sakitnya Ayah, mungkin saja bisa merubah sikap Ayah, yang tadinya selalu hura-hura, mabuk-mabukkan mungkin setelah Ayah merasakan sakit ini, dia bisa berubah dan sadar dari kebiasaan buruknya.


Bagas, Ayah, Ibu, Keluarga ku dan Kopi espresso yang kurasa nikmatnya dapat mengalahkan cappucino. Kini aku mengerti, mengapa Bagas memberiku secangkir kopi di awal bulan ini. Dia hanya ingin menunjukkan perasaannya yang sudah lelah menjalani hubungan ini, keputus asaan pada sikap keluarganya terutama keputusan Oma yang ingin menjodohkan Bagas dengan Prisca hanya untuk menyelamatkan perekonomian keluarga mereka yang mulai goncang. Mungkin Bagas hanya menjalankan tugasnya sebagai cucu yang baik, yang penurut. Ternyata bukan hanya keluarga ku saja yang rapuh, tapi keluarga Bagas juga. Yang menjadi perbedaannya hanyalah di keadaan. Keadaan keluarga Bagas yang merasa hidupnya terancam karena materi yang mereka anggap kurang, sehingga harus mengorbankan perasaan anak atau cucunya (Bagas) untuk menikah dengan seorang perempuan yang tak bisa dan takkan bisa dicintai oleh Bagas. Sedangkan keadaan keluargaku hampir hancur karena Ayah, yang ku harap kami masih bisa diberi kesempatan oleh Sang penguasa waktu untuk memperbaiki keadaan, untuk bisa menyadarkan Ayah dari keterpurukan, untuk membawa senyuman Ibu kembali, untuk menyambut kesuksesan kakaku, Rio dan terakhir untuk keluarga kecil sederhana dan harmonis ku yang seperti dulu. Semua yang terjadi ini sama seperti rasa kopi espresso, pahit, hitam pekat! Suatu rasa yang ditunjukkan Bagas padaku, pada hidupku di secangkir kopi itu.