Senin, 11 November 2013

Tuhan Seperti Ini Karena Aku Kuat

Jangan tanya, siapa aku ! Aku hanya manusia yang bertahan hidup di tengah keadaan yang serba cukup, cenderung kekurangan. Yang mencoba bertahan di tengah keadaan hidup yang semakin hari semakin mencekik leher. Segala daya upaya aku lakukan agar aku dan keluarga masih bisa merasakan dan menghirup oksigen yang konon sekarang sudah terkontaminasi polusi-polusi udara yang kotor itu.
Hidupku tak seperti perempuan-perempuan lain yang sebaya dengan ku, yang bisa menyisir dan memberi treatment pada setiap helai rambut sampai ujung kaki. Yang bisa meminta ini itu dan terkabul hanya dengan menunjuk sesuatu yang di inginkan. Yang bisa mengeluh manja pada lelaki dungu yang jelas-jelas belum tentu menjadi jodoh mereka. Iya. Seandainya saja seperti itu.
"ah, seandainya semua kehidupan manusia di dunia ini seperti itu. Mungkin sekarang aku tak perlu lelah-lelah mengais seperak dua perak uang hanya untuk biaya makan ku esok hari. Bukan kah, Tuhan itu maha adil?" 

Jujur, aku ini lemah selalu saja mengeluh. Hanya saja aku begitu tegar di depan Ibu dan Bapakku. Entah mengapa, tak ingin rasanya aku memperlihatkan guratan kemurungan di raut wajah ini. Ya, wajar saja bila aku melakukan semua itu, wajar saja bila aku menyembunyikan semua ini.
Bapak sudah cukup tua, bahkan kontrak kerjanya di pabrik tempat beliau bekerja tinggal 5 tahun lagi. Sejak lulus SMK sampai sekarang memiliki 4 orang anak, beliau tetap bekerja disana. Dari mulai upah seadanya, hingga sekarang sudah memiliki upah yang cukup, meski tetap saja tak cukup untuk biaya hidup kami. Yaa mau bagaimana lagi, kebutuhan rumah tangga semakin hari harganya semakin melambung.
Sedangkan Ibu, hanya bekerja sebagai Ibu rumah tangga yang bekerja setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan sepanjang tahun tanpa sepeser pun upah yang beliau terima. Iya, Ibuku hanya Istri dari buruh pabrik dan Ibu dari 4 orang anak, 4 orang anak yang terkadang sering membuatnya naik pitan gara-gara menangis, merengek ini itu hanya untuk bisa merasakan makanan enak, mainan baru, kue dan pesta ulang tahun atau bahkan pakaian baru yang seperti orang-orang miliki itu.
"Sudah jelas bukan, keadaan kami tak begitu menyenangkan. yang setiap waktu selalu saja di hampiri rasa takut tiba-tiba. Apa besok, adik-adikku masih bisa sekolah? Apa besok, kami masih bisa menyantap butiran-butiran beras yang di tanakkan lagi?!"

Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, aku sudah biasa mencari uang sendiri. yaa, sekedar untuk jajan keripik-keripik pedas dan air bersoda itu. Aku mendapatkan seperak dua perak uang dari hasil jualan kue basah, kue risoles dan bolu gulung yang ku jajakan. Tak banyak memang, tapi rezeki yang ku dapatkan halal! Aku pernah menjadi tukang kue, menjadi pedagang voucher pulsa elektrik bahkan menjadi penjual gantungan kunci, itu semua ku lakukan demi meringankan beban orang tuaku.
"Terkadang aku lelah, terbesit keinginan untuk bekerja bersama kupu-kupu dikala malam itu. Bukankah, hasil yang di dapat dari pekerjaan hina itu sangat lumayan?! Tinggal berteman dengan iblis-iblis yang menawarkan surga dunia, dan ... Walla!! apapun yang ku inginkan pasti segera tercapai. Gaun mahal, sepatu mahal, ponsel keluaran terbaru atau mungkin, bisa saja semua kebutuhan hidupku terpenuhi. Ya, kalau saja aku tak pengecut dan imanku tak sekuat ini. Mungkin saja aku telah meraih semua dan apapun yang ku inginkan. Kalau saja!"

Kami hanya keluarga sederhana yang sangat apa adanya. tak memiliki benda berharga selain harga diri. Dari situlah aku selalu bercermin, aku hanya perempuan biasa, yang terlahir dari keluarga biasa. Bahkan sangking biasanya, keluarga kami di kucilkan oleh saudara-saudara Bapakku. Iya, caci maki dan hinaan yang terlontar dari mulut paman dan bude ku. Pengang rasanya bila sudah mendengar keributan di keluarga besar Bapakku, yang ribut hanya untuk saling merebut harta warisan yang tak seberapa dan tak bisa di bawa ke liang lahat itu.
"Inilah alasan kami untuk pindah dan menjauh dari keluarga besar Bapak. Jangankan kami, Bapak yang benar-benar saudara kandung mereka saja sudah enggan untuk berurusan dengan mereka semua. Kami memilih mengalah, diam dan menghindar. Mengurangi permasalahan dan memilih masa bodo pada harta warisan itu. Lah toh, meski hidup kami susah, kami masih bisa bekerja dan berjuang mempertahankan hidup dengan cara yang mulia. Tanpa harus menyikut saudara sendiri."

Uang, benda kecil yang berperan besar pada kehidupan. Membuat kawan menjadi lawan, membuat saudara dekat menjadi orang asing. Semuanya saling sikut menyikut demi mendapatkan benda kecil itu. seberapa besar sih, peran benda kecil itu?
"Sangat besar bahkan dominan. sampai-sampai uang di ibaratkan waktu. Ya, Time Is Money! Hingga upah yang ku terima di cafe ini saja dihitung berdasarkan jam kerjaku setiap harinya."
 
Sudah hampir dua tahun aku bekerja sebagai waitress di cafe ini, mengantarkan pesanan pengunjung dari mulai minuman, makanan atau hanya sekedar cemilan-cemilan kecil, yang harganya cukup mahal bagi ukuran uang saku ku. Upah yang ku terima perbulannya hanya sebesar satu juta rupiah.
Apa, hanya Rp. 1.000.000,00?!!!
"Iya hanya satu juta rupiah saja. Perbulan! Bayangkan di kehidupan yang serba mahal ini, aku bekerja hampir 8 jam setiap harinya. Dan selama 24 hari dengan upah yang tak seberapa. Sedangkan aku melihat orang keluar masuk cafe, hanya untuk menghamburkan uang dalam beberapa menit saja. Iya, mereka datang bersama orang-orang tersayang dan bersenda gurau, lalu menghabiskan berpuluh-puluh ribu bahkan ratusan ribu hanya untuk sebotol minuman yang disebut wine dan cake-cake kecil yang rasanya terlalu manis untukku."

Tak jarang aku melihat lelaki paruh baya berlalu lalang bersama perempuan yang mungkin usia nya sama seperti ku. Menurut ku itu tak pantas, karena seharusnya pada malam hari seperti ini, dia berada dirumah bersama anak dan istrinya. Membangun atmosfer gelak tawa yang renyah bersama keluarga tercinta bukan malah membangun gelak tawa dengan perempuan asing yang bersembunyi di balik topeng gincu berbibir merah yang sangat tebal itu.
"cih, entah apa yang di cari oleh pasangan laknat itu! Apa mereka sadar, perbuatan yang mereka lakukan itu salah?! Salah besar, menyakiti keluarga, juga menyakiti Tuhan dengan apa yang mereka lakukan malam ini. Tapi siapa yang peduli? Lah toh, yang dicari lelaki itu hanya kepuasaan yang mungkin tidak dia dapatkan atau perempuan itu juga sama seperti ku, yang hanya ingin mendapatkan rupiah untuk melanjutkan hidup esok hari. Tak peduli cara untuk mendapatkan uang itu seperti apa. Dosa, perempuan itu tak kenal dengan kata dosa, yang dia pikirkan hanya bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan di Ibu kota. Butuh pendidikan yang tinggi untuk dapat menduduki pekerjaan yang tinggi dan bermartabat. Sedangkan dia hanya lulusan sekolah menengah pertama yang tak ada harganya di mata bos-bos perusahaan itu. Baginya, percuma mencari cara mendapatkan rezeki yang halal. Lah toh, mereka yang bekerja dan mendapatkan rezeki yang halal pun, selalu jatuh dan hancur karena mencicipi rezeki yang haram. Rezeki yang bukan untuk mereka, rezeki yang seharusnya untuk keluarga dan masyarakat kecil dan miskin. Lalu, apa bedanya dengan dia, si perempuan yang bertopeng itu?"

Ah, aku tak mau mengetahui terlalu jauh tentang kehidupan malam hari yang selama ini aku lewati. Terlalu jahat kehidupan malam di Ibu Kota ini. Aku menikmati suasana malam hanya sampai jam 22.00 wib saja, jam dimana waktu nya aku pulang setelah bekerja seharian di cafe ini. Jika uang saku ku masih tersisa dan cukup untuk membeli 3 porsi nasi goreng biasa di pinggir jalan, maka aku akan pulang dengan membawa makanan ini untuk Ibu, Bapak dan ketiga adikku. Tapi jika tak ada sisa uang, aku hanya pulang dengan membawa senyum pengharapan. Ya, harapan. Harapan, semoga saja adik-adik ku tak pernah merasakan hidup yang getir seperti hidupku sekarang.
Terkadang aku suka membandingkan kehidupan yang ku alami dengan kehidupan orang lain. Sesulit ini kah, hidup? Begitu mudahnya mereka hidup. Menginginkan sesuatu tanpa harus bersusah payah, mendapatkan sesuatu tanpa harus membanting tulang.
"Mungkin mereka tidak bersusah payah, tapi sebagian manusia telah berkorban dan mengambil resiko untuk mewujudkan impian mereka. Entah itu benda mewah atau kualitas hidup, yang pasti aku tahu bagaimana rasanya bekerja mencari nafkah. Meski sampai saat ini semua yang telah ku lakukan belum cukup untuk membahagiakan orang tua dan adik-adikku, bahkan untuk membahagiakan diriku sendiri pun belum cukup tapi aku bersyukur. Setidaknya aku masih mampu mempertahankan apa yang ku punya sekarang, sesuatu yang membawa kebahagiaan (Keluarga) dan aku masih mampu memberikan harga pada harga diriku yang sangat mahal dan takkan pernah terbeli oleh siapapun. takkan ku biarkan aku menjadi perempuan yang bertopeng gincu berbibir merah tebal itu" 

Aku mengerti takdir, aku mengerti jalan kehidupan, aku mengerti, Tuhan! Mungkin, Engkau (Tuhan) berbuat seperti ini karena aku kuat. Dan semoga, aku kuat menghadapi cobaan-cobaan hidup yang akan Tuhan berikan berikutnya.