Sabtu, 26 Februari 2022

Kembali Sendiri

Permulaan, selalu penuh kejutan.
Kebahagiaan, riang menyeruak di sela-sela dada yang selama ini sesak.
Satu persatu jendela-jendela kecil dalam hati terbuka, tersinari cahaya baru yang sudah tak tahan untuk memasuki pelataran dan ruang hati.
Ketukan pintu pun, semakin sering terdengar.

Haruskah segera ku persilakan engkau untuk masuk?
Logika ku berkata "Jangan dulu. Untuk apa tergesa-gesa pada sesuatu yang baru?".
Ku tutup kembali hatiku.
Tapi sialnya, cahaya itu semakin terik. Semilir angin rindu pun mulai mengisi di sudut ruang hati yang sesak.
Ah, sial!
Hatiku berbisik, bolehkah ku persilakan engkau masuk?
Perlahan kau pun memasuki ruangan ini, tanpa rasa takut, penuh dengan rasa cinta yang kukuh.
Masuklah kataku, tapi hati-hati! 

Tahukah kau, sisi dari setiap ruang ini memiliki kisahnya sendiri.
Maap jika atmosfer di ruang hatiku tak semenakjubkan yang kau pikirkan.
Maklum saja, hati ini pernah memberikan segalanya, menyayangi, mengasihi dan mencintai dengan penuh tulus dan sungguh.
Walau yang didapat hanya semua hal yang membuat hatiku hancur dan rapuh.
Sejak saat itu, kubiarkan pelataran dan ruangan ini menjadi tempat yang sendu.
Sudah hampir tiga tahun kubiarkan hati ini rehat, tak perlu menyayangi, mengasihi dan mencintai yang lain, selain diriku sendiri.

Bolehkah aku bertanya padamu?
Apa tujuanmu untuk datang menemuiku?
Apakah kau akan betah berlama-lama tinggal di hatiku?
Apakah kau bisa menjaga dan merawat perasaanmu padaku, pun perasaanku kepadamu?
Apakah kau mampu, menghadapi badai yang terkadang datang untuk memporak porandakan hatiku dan hatimu?
Apakah kau akan tetap tegar untuk menetap atau hanya sekadar singgah tanpa rasa cinta yang tak lagi utuh?
Apakah engkau? Apakah engkau?!
Maap, begitu banyak suara di hatiku. Begitu bising terdengar, terutama saat purnama penuh berada di puncak malam.

Waktu terus berjalan, pasang surut perasaan kita pun semakin sering di uji.
Kau bilang, aku tak menaruh rasa percaya padamu.
Hai, Bung! Bagaimana aku bisa menaruh kepercayaan, sedang kau dengan jelas pernah menipuku dari belakang.
Kau bilang, aku tak pernah menyatakan cinta padamu.
Oh, haruskah seorang wanita pemalu ini berteriak ke penjuru dunia bahwa dia telah mencintaimu?
Tak cukupkah perhatian, pengertian, kasih sayang yang kuberikan untukmu, sebagai pernyataan cintaku padamu?
Atau haruskah kubisikkan lantunan-lantunan do'a untukmu yang selama ini kupanjatkan pada Ilahi?
Perihal kita berdua yang aku harap akan selalu menjadi kita, yang penuh kesetiaan memeluk cinta yang bahagia.

Ayolah, bisakah engkau lebih meyakinkan aku?
Haruskah aku memberikan kesempatan lebih padamu?
Semakin hari suasana semakin ribut, riang yang sempat riuh berubah menjadi takut yang kalut.
Akan hancur, kataku. Sedari awal, seharusnya aku menyadari.
Bagaimana bisa perasaan cinta dua insan ditutup-tutupi dari semesta dan seisinya?
Dasar bodoh, aku ikuti semua alur langkahmu.
Katamu, ayo melangkah, kita harus jalan bersama, kita bisa bersembunyi di sini, kita berlari sampai sana!

Aku yang sangat luluh kepadamu, mengikuti semua alurnya. 
Sampai di penghujung jalan, kau menemukan satu dinding yang kokoh. Yang tak bisa kau robohkan.
Awalnya, kau bersedia untuk merobohkan dinding penghalang itu.
Apakah bisa, ucapku?
Tapi semakin hari, semakin ku lihat kesakitan pada dadamu.
Bergemuruh nalar-nalar dipikiranmu, hingga akhirnya kau berkata "Kau boleh berhenti disini, kau masih bisa berbalik arah. Pulang ke tempat asal kita melangkah!"
Saat itu, aku menyadari bahwa kau telah menyerah dan aku telah kalah.

Terdiam, tak satupun kata yang sanggup ku ucap.
Hanya pertanyaan-pertanyaan penuh misteri yang ada di dalam pikiran, kacau balau setiap detiknya menghujani setiap labirin di pikiranku.
Kau menyerah? Aku harus kembali pulang sendiri?
Kau tak sungguh? Aku harus berusaha sendiri untuk sembuh?
Kau akan melupa? Aku harus mendapat dan memelihara luka?
Kau tak sengaja ingin berakhir? Sedang aku harus selalu siap menerima akhir?

Sungguh gila!
Bisa-bisanya aku membiarkan orang baru melukai hatiku.
Tentang engkau yang sejak pertama datang memberi sejuta harapan yang tak pernah ku harapkan.
Tentang engkau yang berani memaksa masuk, walau akhirnya aku harus menerima kenyataan yang buruk.
Tentang engkau yang sempat ku kira sebagai akhir yang takkan pernah berakhir.
Tahukah engkau, ruangan ini sekarang menjadi begitu sesak, rasa yang beterbangan semakin hari semakin pudar. Hilang terbawa angin lalu yang sendu.

Haruskah aku kalah (lagi)?
Kalah dengan keadaan yang sangat payah.
Kalah dengan perasaan yang sempat ada dan melimpah ruah.
Kalah dengan ego yang tingginya tak terarah.
Kalah dengan engkau, yang sebelumnya selalu ada, namun harus ku relakan.

Ku relakan engkau pergi menjauh.
Pergi meninggalkan apa-apa yang sempat kita impikan.
Pergi dengan memahat luka baru untukku.
Ku terima, ku pasrahkan segalanya pada semesta.
Tak lagi ku pedulikan engkau, ku coba untuk acuh pada segala hal tentangmu.

Lagi dan lagi, aku memeluk diri sendiri.
Memang, tidak begitu hangat dan teduh seperti sentuhanmu, tapi setidaknya aku berusaha untuk tetap tangguh.
Aku bisa apa? 
Selain menimang ingatan yang ada, selain memelihara kenangan yang ada, selain mencoba untuk tetap ramah dengan kesakitan yang ku punya.
Aku bisa apa?
Selain melihatmu pergi, memperhatikanmu dari kejauhan dan bersembunyi dari setiap bayangmu.

Pergilah, semoga engkau temukan tempat yang lebih istimewa.
Tempat yang mampu membuatmu menetap dan tinggal selamanya.
Tempat yang ku harap hangat, yang membuatmu selalu terbuai bahagia.
Aku masih di sini, memeluk diri sendiri. 
Semoga aku masih bisa memimpikan engkau, di setiap purnama yang ku punya.
Hingga suatu saat, aku kan melupakan luka yang ada. 
Hingga suatu saat, aku akan kembali bersinar dan aku akan dipertemukan oleh seseorang yang lebih tangguh dan lebih sungguh darimu.