Senin, 29 Desember 2014

Inilah Yang Baru

Kapan kesendirian ini berakhir?
Bukan, bukan itu. Maksudku, kapan kau mengakhiri kesendirian ini? Tak jenuhkah dengan kesendirian, atau jangan-jangan engkau sudah berkawan lama dengan kesendirian?

Apa yang membuatmu ragu?
Kesempatan untuk bahagia kembali sudah hadir di depan mata. Tapi mengapa tak kau hiraukan itu?
Mengapa kau selalu saja menghiraukan sesuatu yang telah lalu?

Itu tidak adil, dengan memikirkan sesuatu di masa lalu itu, kau hanya memperkeruh keadaanmu sendiri. Tak ada jalan keluar disana, hanya jalan buntu. Apa yang kau cari?
Tak inginkah, kau keluar dari masa lalu itu?

Keluar dan masuklah pada kehidupanmu yang baru, bersama seseorang yang baru dengan sesuatu yang baru. Siapa yang tahu, itu bisa saja membuatmu bahagia. Bisa saja, yang baru itu adalah hal yang selama ini kau nanti. Siapa yang tahu?

Engkau takkan pernah tahu, ia akan membuatmu terkesima atau membuatmu kecewa. Tapi jika kau tak mencoba, kau takkan pernah merasakan dan mendapatkan hal yang baru. Tak perlu takut untuk jatuh dan merintih kesakitan lagi. Bukankah, kau sudah terbiasa dengan hal itu?

Beranikan hatimu untuk menerimanya, membiarkannya masuk dan mengetuk pintu hatimu secara perlahan. Cukup perlahan saja, pelan-pelan. Tak perlu terburu-buru. Karena ia pun tahu, tahu akan kesakitan dan kekecewaan yang tertanam dalam hatimu selama ini.

Tegarkan dan yakinkan hatimu, bahwa ini adalah masa depan mu. Masa baru bagi jiwa, hati dan tentu saja cinta yang baru. Yang semoga saja, bisa sesuai dengan apa yang kau harapkan selama ini. Berbahagialah, karena kau pun pantas untuk bahagia dan dibahagiakan olehnya, seseorang yang baru bukan yang dulu.

Sabtu, 27 Desember 2014

Di sini, Di sana. Di Istana !

Di sini sendu, samar-samar terdengar rasa yang merindu. Menggebu-gebu karena lama tak terbalaskan. Entah memang tak terbalas atau tak sempat di balas. Yang pasti di sini ada rindu yang tak terpaut waktu. Mengenai hati yang menunggu, yang tak pernah jelas mengenai waktu untuk mengakhiri rindu itu.

Di sini mendung, awan bergumpalan di atas. Menaungi sanubari yang semakin hari semakin ringkih. Ringkih ditelan waktu, menunggu dan menunggu tanpa ada kata jenuh. Tetap menunggu meski telah jelas-jelas jatuh dan tertatih. Ini sulit tapi tak ada kesulitan yang berarti. Sangking terbiasanya bermain dengan kesunyian dalam menunggu sang penawar rindu.

Di sini pilu, kelu bahkan sudah membeku. Sejauh mata melihat, hanya ada satu yang terlihat. Sesosok bayang semu, tak nyata tapi mampu memberi senyum. Seketika hati itu merekah kembali, memancing kebahagiaan masuk dan mengisi semua rongganya. Entah apa ini benar atau salah, tapi sosok itu fiktif tak dapat disentuh oleh raga hanya bisa dirasa oleh jiwa hingga menjelma dalam sebuah bayang. Bayangan sosok itu, itulah yang ditunggu. Yang membuatnya selalu menunggu.

***

Di sana penuh haru. Meski tak pernah bertemu, tapi hati ini yakin bahwa sosok yang ditunggu itu, selalu penuh dengan kejutan. Kebahagiaan tak pernah bosan menemaninya. Segala kebaikan Tuhan selalu larut di dalamnya. Hati yang menunggunya inilah yang meronta-ronta pada Tuhan, untuk melindungi sosok yang ditunggu yang menurutnya sangat berarti di semesta ini.

Di sana selalu dihiasi senda gurau. hidupnya tak pernah peduli pada hati yang menunggu. Geraknya sangat bebas, hingga menciptakan jarak yang jauh dengan hati yang menunggunya itu. Tak pernah tahu dan mau tahu mengenai apa yang terjadi pada hati yang menunggu. Baginya, hidup ini sudah cukup sempurna tanpa hati yang menunggu. Yang hanya bisa menganggu.

Di sana biru, teduh. Tak seperti di sini yang abu. Cerah, berbinar-binar penuh dengan warna warni menyejukkan rasa. Tak kenal pilu dan kelu. Bahkan sosok yang ditunggu itu tak pernah akrab dengan kata sendu dan rindu. Karena ia tak pernah tahu apa itu menunggu. Hidupnya normal cenderung sempurna, tak pernah berharap pada sesuatu yang semu. Karena ia sumber pengharapan bagi hati yang menunggu.

***

Di sini dan di sana. Perbedaannya sungguh terasa, kacau. Tak bisakah untuk memberi penghargaan sedikit saja pada hati yang menunggu?
Di sana, mungkin tak menginginkan. Tapi di sini sangat menginginkan, sangat! Di sini rapuh, tak tahukah wahai yang di sana?

Di sana, acuh. Selalu mengacuhkan. Sedangkan di sini terlampau peduli, tak bisa membalas untuk mengacuhkan yang di sana. Menunggu dan menunggu meski berakhir kelabu, tak pernah ia mengeluh meski terkadang ia menuntut kebahagiaan untuk hidupnya juga.

Di sini dan di sana. Tak bisakah bertemu atau di pertemukan? 
Bertemu di suatu ruang yang penuh, penuh akan rasa haru dan warna biru yang mampu menyejukkan keduanya. Terutama menyejukkan hati yang selama ini menunggu. Bertemu dan di pertemukan di suatu tempat, tempat yang berisi kebahagiaan dan harapan bagi keduanya. Terutama bagi hati yang selama ini menunggu. Mungkin ruang dan tempat itu bisa di ibaratkan istana. Ya, istana!

Di istana yang mungkin tak bisa bertahan lama. Yang mungkin tak bisa bertahan lama, tak seperti rasa rindu yang kekal, yang dimiliki hati yang menunggu itu. Yang mungkin pula tak bisa bertahan lama, tak seperti keberuntungan yang kekal pada hati yang ditunggu itu. Keberuntungan untuk yang di sana, yang ditunggu. Karena beruntung selalu diharapkan dan di inginkan oleh hati yang menunggu, di sini.

Selasa, 16 Desember 2014

Membiasakan Untuk Biasa

Disini aku mencoba untuk menguntai kembali ingatan-ingatan tentangmu, yang kini telah hancur berserakan. Terbuang oleh waktu yang terus menerus memaksa ku untuk menghadapi masa depan. Masa depan yang mungkin tidak begitu menyenangkan. Masa depan yang belum tentu ku dambakan. Karena disana, tak ku dapati lagi sosokmu yang teduh itu.

Laksana lembayung, wajahmu indah untuk ku kenang. Tingkahmu selalu dapat ku ingat. Tak sulit untuk mencintaimu. Bahkan, aku selalu tahu bagaimana cara untuk membuat diriku jatuh pada cintamu (lagi dan lagi). Meski seisi semesta tahu, tak ada sedikitpun cintamu yang dapat kau balaskan untukku. Tenanglah, seberapa besar dan inginku untuk memilikimu, takkan ku buat engkau untuk bisa mencintaiku. Karena aku tak ingin cinta dengan paksaan, aku pun ingin bahagia dengan cinta yang tulus. Meski, cinta yang tulus itu bukan terpusat darimu.

Jika kemarin, disetiap harinya aku mendambakan mu, mungkin tidak untuk hari ini. Maaf, bukan maksud ku untuk mengacuhkan mu. Tapi, ini semua ku lakukan demi hati yang masih bisa aku selamatkan. Iya, aku harus menyelamatkan hatiku sendiri dari semua bayang tentang mu. Tak ingin lagi, aku merasakan sesak yang teramat sangat karena terlalu mendambakan mu. Hati ini layak, bahkan sangat layak untuk merasakan ketenangan.

Jika dahulu, disetiap waktu ku habiskan untuk memikirkan mu, mungkin berbeda dengan hari ini. Maaf, bukan maksud ku untuk tak peduli pada apa-apa tentangmu. Tapi harus bagaimana lagi?
Aku harus membiasakan diri untuk tidak menganggapmu ada. Maaf, jika aku sejahat ini. Mungkin, aku pun di cemooh oleh hatiku sendiri karena jelas-jelas memaksanya untuk melupakan mu. Melupakan seseorang yang menjadi penyambung semangat hidup itu sangat sulit. Getir rasanya. Aku pun tak sanggup, menjalaninya. Tapi aku akan mencoba, harus!

Aku harus membiasakan ini semua. Membiasakan hati yang penuh cinta, menjadi hati yang terisi perasaan biasa saja. Membiasakan pikiran yang selalu penuh dengan bayang mu, menjadi pikiran yang kosong, yang tak terisi sedikitpun bayang tentang mu.
Semua ku lakukan demi aku, demi hidupku sendiri. Karena aku tersadar, tak mungkin selamanya hidup dalam pengharapan. Pengharapan yang selamanya hanya akan menjadi harap, tanpa ada harapan lain yang menjemputnya untuk menjadi nyata.

Jika boleh jujur, sebenarnya aku tak ingin memiliki perasaan yang biasa saja terhadapmu. Aku, masih ingin memiliki perasaan yang luar biasa terhadapmu. Seandainya engkau tahu itu, mungkinkah kau kan datang padaku?
Menghampiri ku, dengan mata yang berbinar-binar itu. Menjemput perempuan yang selama ini tulus mencintaimu dari setiap sisi dan ruang yang ada pada hidupmu. Dari setiap kelebihan mu, tanpa peduli dan ingat kekurangan serta kelemahanmu, apakah engkau akan menghampiri ku?

Jika, suatu saat nanti engkau telah mengetahui semua. Tentang aku, si perempuan dengan harapan, cinta dan sesuatu yang luar biasa ini, dan bermaksud menggapai jemarinya untuk meraih kebahagiaan yang hakiki, maka datanglah padaku. Ketuk lagi pintu itu, pintu yang dahulu ku ijinkan engkau untuk masuk kedalamnya. Semoga saja belum terlambat, karena nanti (mungkin) perasaan ku tak seperti dulu, (mungkin) perasaan ku padamu sudah biasa saja. Tak ada lagi pengharapan yang tinggi terhadap sosokmu. Karena hati ini telah lelah menahan rasa yang terendap lama, pada seseorang yang tak dapat membalas ketulusan cintaku.

-- Semoga aku terbiasa untuk berpaling dari segala tentangmu --