Rabu, 26 November 2014

Bahagia Dalam Kebahagiaan

Kerutan dibawah kelopak mata nya semakin terlihat, terutama saat ia tersenyum. Aku, selalu senang melihatnya tersenyum, meski kerutan itu melengkapi senyumnya. Berbeda dengannya, yang setiap pagi sehabis mandi, ia berkaca sambil menghitung kerutan yang ada di bawah kelopak matanya. 
"satu, dua, tiga .. aduh, kerutannya semakin hari semakin bertambah ya" Ucapnya depan cermin
Aku tertawa dibalik pintu kamarnya, ternyata ia begitu memperhatikan setiap detail perubahan yang terjadi dalam diri dan hidupnya.

Tubuh ideal yang ia banggakan saat memperlihatkan foto-foto di album kenangannya pun, selalu ia bandingkan dengan berat badannya yang sekarang. Benar-benar konyol, bukan?
"Dulu, baju ini masih pantas dipakai. Coba kalau sekarang, pasti sudah tak cukup."
Aku hanya tersenyum, mendengar celotehannya sambil membuka halaman tiap halaman di album itu.

Bahkan, rambut hitam tebal nan bergelombang yang biasa ia urai dan dijadikan sanggul saat ia mengajar murid-murid di TK nya dulu pun, sudah berubah. Sekarang, ia sudah mulai menyuruhku untuk memperhatikan helai demi helai rambutnya. Karena ia merasa kalau beberapa helai rambutnya itu sudah berubah warna menjadi putih. 
"Coba deh, lihat rambut bagian belakang. Sudah ada ubannya belum sih?"
Aku hanya melihat, memegang rambutnya dengan lembut dan mencari, apakah yang di khawatirkan olehnya itu benar. :)

Tulang punggung dan pinggang yang dulu dirasakannya begitu kuat, kini mulai melemah. Terkadang, saat ia merasakan sakit dibagian pinggangnya, aku hanya bisa membalurnya dengan obat gosok dan memijitnya sekedar untuk menghilangkan rasa sakitnya. Semoga saja ia cukup bahagia dengan apa yang aku lakukan.
"Dulu ya, tiap hari dari rumah ke tempat ngajar selalu jalan. Belanja ini itu ke pasar. Sekarang, jalan kaki dari rumah ke depan Gg aja udah pegel. Ngangkat ini itu ga bisa banyak-banyak. Mungkin ini faktor U, ya?"
Ahahahaha aku selalu tertawa jika ia mulai mengeluh seperti itu.

Wanita ini, yang sekarang mulai memiliki kerutan di bawah kelopak matanya, yang mulai memperhatikan perubahan bentuk tubuhnya, yang mulai risih dengan rambut hitamnya yang mulai memudar, yang sekarang sudah mulai merasakan sakit di pinggangnya, pasti memiliki kisah hidup yang penuh makna. Iya, aku yakin itu!

Dahulu, mata dengan kerutan itu selalu awas mengawasi tiap gerak satu persatu anaknya, menjadi pengintai setiap tingkah polah anaknya, bahkan sampai anak tertuanya berumur 22 tahun. Ia tetap memperhatikan buah hatinya tersebut, hingga saat ini dan nanti.

Meski tubuhnya sudah berubah tak seperti dulu, aku tetap bangga padanya. karena setauku, tubuhnya lah yang selalu menghangatkanku saat terlelap, saat dingin, saat ku menangis bahkan saat aku berada dalam keadaan yang terpuruk. Iya, tubuhnya yang selalu memelukku. Aku selalu rindu dan merindukan pelukannya.

Mengenai rambutnya yang mulai memputih pun, aku tak peduli. Aku selalu ingin menunjukkan pada dunia, siapakah wanita ini. Aku selalu bangga memperkenalkan pada dunia, mengenai siapa wanita ini. Iya, aku selalu menyayanginya, bangga sekaligus bahagia bahwa hingga kini, aku masih bisa membelai rambutnya. Meski, ia lebih sering membelai rambutku. :)

Bahkan mengenai sakit di bagian pinggang yang ia rasakan, meski ia sedikit mengeluh, ia tak pernah sedikit saja mengurangi kegiatannya untuk melayani orang-orang yang ia kasihi. Ia tak pernah mengurangi kebiasaannya untuk menemani orang-orang yang ia kasihi. Tahukah engkau, bahwa orang-orang yang kau kasihi ini, selalu memohon pada sang penguasa waktu untuk memperpanjang waktu untuk kehidupanmu?
Semoga, segala kenikmatan, kebahagiaan dan ketentraman selalu mengiringi hidupmu.

Aku percaya dan berterimakasih padamu, Tuhan. Sungguh takdir dan kuasa-Mu telah menghadirkan peri pelindung bagiku. 46 tahun yang lalu, telah lahir salah satu ciptaan-Mu. Yang bagiku nyaris tak memiliki celah kekurangan didalam dirinya. Benar, ia adalah Ibuku. Wanita tangguh, berhati lembut, memiliki ucapan yang selalu mujarab untuk diaminkan oleh Tuhan. 

Wanita yang selalu aku banggakan, aku cintai, dan aku do'akan agar selalu ada dalam perlindungan Tuhan. Karena ia adalah peri pelindungku. Terima kasih Ibu, selamat menikmati usia baru, bahagia dengan hidup penuh kebahagiaan itu kekal dan pantas untukmu, Ibu. Maaf bila anakmu ini masih belum bisa membahagiakanmu, tapi anakmu ini berjanji pada Ilahi. Untuk selalu berusaha membuat hidupmu penuh dengan letupan-letupan kebahagiaan, Ibu :')


Minggu, 23 November 2014

Kepada Sang Pengkhayal

Kepada seseorang dengan seribu khayal di kepala. 
Apakah engkau mengerti, bahwa hidup tak selalu tentang cinta?
Apakah engkau mengerti, bahwa hidup ini penuh dengan beda?
Apakah engkau mengerti, bahwa hidup bukan tentang apa yang menurutmu benar?
Apakah engkau mengerti, bahwa hidup ini sesuai takdir?

Ayolah, mengerti dan mulai menata hidupmu. Terima semua kenyataan yang ada, meski itu semua terasa pahit. Mau tak mau engkau harus melumat habis semua yang terjadi pada hidupmu. Saat khayalan mu memberi kekuatan, memberi mu dunia yang indah, kenyataan tetap memberikan mu pelajaran. Entah pelajaran dan makna hidup dari seseorang yang kau benci, entah dari seseorang yang kau cintai atau mungkin dari seseorang yang kau kagumi. Semua itu sama saja. Sama-sama memberikan mu hal yang nyata, yang terlihat bukan sekedar sesuatu yang abstrak seperti khayalan mu selama ini.

Engkau terlalu memaksakan kehendak, bertingkah sesukamu, tanpa perlu berpikir panjang akan apa yang mungkin terjadi nanti. Yang ada dalam isi kepalamu hanya dia yang jauh, yang acuh, dan tanpa segan membencimu. Iya, hanya itu!
Apa kau tak peduli bahwa yang kau lakukan itu hanya sesuatu yang membuang waktu, hanya sesuatu yang akan berujung sia-sia. Ironis bukan?
Bagaimana bisa engkau mencintai seseorang yang membencimu, wahai lelaki pengkhayal?

Seberapa besar dan kuat engkau mengganggu dan meyakinkan seseorang yang kau cintai itu, tetap saja ia takkan pernah bisa menganggapmu ada dan menerima mu. Karena ia seseorang yang mengerti akan takdir, karena ia bukan seseorang yang seperti engkau pikirkan. Kembalilah pada hidupmu yang normal dan tak perlu lagi kau mengusik kehidupannya yang sudah bahagia dengan takdirnya. Pergilah dengan kehormatan, jangan menghilang dengan caci dan makian.
Karena Cinta adalah takdir yang jelas diberikan Tuhan. Karena cinta bukan melawan takdir, seperti apa yang kau lakukan.

Senin, 03 November 2014

Di Antara Jarak

Awalnya semua biasa saja, tak ada yang perlu di khawatirkan. Bahkan semua berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Sampai semuanya berbenturan dengan jarak, yang dominan memberikan batas, jeda hingga beda di antara mereka.

***
"Dencrist ku, pagi ini aku akan pergi jogging bersama teman-teman. Siangnya aku mau pergi ke toko buku dekat kampus, sore jam 17.00 sampai selesai (mungkin malam) aku di kampus ada keperluan rapat BEM. Semoga harimu menyenangkan disana, good luck dan semangat kerjanya, ya ..."
Pesan yang ku terima pagi ini dari Naya. Cukup singkat, padat dan jelas. Setelah aku memutuskan untuk bekerja diluar kota, Naya pun mengambil keputusan untuk melanjutkan sekolah ke salah satu universitas negeri di Jakarta. Pergilah kami berdua meninggalkan kota Bandung. Kota yang banyak menyimpan kenangan serta menjadi saksi perjalanan cinta ku dengan Naya. Jarak yang cukup menyita waktu, bahkan cukup menyita perasaan kami berdua akhir-akhir ini. 

Bukan tak berdaya untuk mengalahkan jarak. Jika memang ingin, aku bisa saja membeli tiket pesawat dari Yogyakarta menuju Jakarta hanya untuk bertemu dengan Naya. Tapi sampai saat ini, niat itu selalu aku urungkan. Banyak hal yang harus ku pikirkan jika ingin bertemu dengannya, dari mulai kesibukan Naya, kewajiban Naya untuk kuliah, waktu Naya bersama teman-teman barunya disana, selalu aku pikirkan dan aku hargai. Aku tak mau mengganggu kegiatannya dengan kehadiran ku disana. 

Untuk mengobati rindu dan penghilang pilu, kami sering bertukar kabar dan cerita melalui sms atau jika waktunya memungkinkan, kami sering berlama-lama mengobrol via telepon dan skype. Tapi itu dulu, dulu saat keadaan tak seperti sekarang. Sekarang yang menurutku terasa begitu singkat, sekarang yang menurutku terasa begitu sempit, sekarang yang menurutku sedikit dan terkadang terasa begitu pelik. Benar, cinta dua orang insan yang terhalang oleh jarak tak selamanya indah dan kuat untuk dirasa serta dipertahankan. Tapi disini, aku takkan berhenti berjuang, menjaga semua yang kami bangun selama tiga setengah tahun terakhir ini. Niat ku untuk menikahi perempuan yang satu ini sangat kuat dan akan ku buktikan.

***
"Pagi Naya, semoga harimu pun menyenangkan disana. tetap semangat dan tersenyum ya .. Maaf jika akhir-akhir ini aku terlalu sibuk, itu karena sampai minggu depan aku harus kerja lembur untuk memenuhi target perusahaan bulan ini. Aku harap kamu mengerti, jaga dirimu baik-baik."
Semenjak Dencrist diterima kerja diperusahaan otomotif sebagai supervisor di Yogyakarta, aku harus membiasakan diri dengan semua kata-kata maaf yang ia ucapkan padaku. Mengenai kata maaf yang ia ucapkan karena tak bisa lagi selalu ada disaat aku membutuhkannya. Mengenai kata maaf karena tak bisa lagi meluangkan waktunya untuk bersama denganku. Mengenai kata maaf yang ia kirimkan dengan kado ulang tahun yang ia berikan untukku karena tidak bisa lagi menemaniku untuk meniup lilin di kue tart ulang tahunku. 

Sudah hampir tiga setengah tahun aku bersamanya, meski dua tahun terakhir ini aku hanya bersama pesan singkat darinya dan hanya ditemani suaranya dari ujung telepon ku. Sejak kelas 3 SMA aku berpacaran dengan Dencrist, saat itu Dencrist masih menjadi mahasiswa semester 4 di  salah satu Universitas negeri di Bandung. Hingga akhirnya ia lulus menyelesaikan kuliah D3 nya, dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan ternama di Yogyakarta. Saat itu, aku masih belum bisa menerima kenyataan. Kenyataan untuk menjalani hubungan jarak jauh. Tapi, karena aku percaya dan mempercayai nya, aku memutuskan untuk tak pernah mengakhiri hubungan denga lelaki itu hingga saat ini.

Meski sekarang aku mulai merasakan perubahan pada sikap dan kebiasaan Dencrist, aku tetap berusaha mempertahankan semuanya. Aku rasa, sekarang penuh perubahan dalam hubungan kami. Tak ada lagi ucapan mesra, rayuan hangat bahkan sapaan sederhana yang membuat hubungan kami berwarna. Kini, semuanya berganti rasa curiga, ungkapan kekecewaan bahkan tak jarang diselingi amarah yang membuncah di antara kami berdua. Dan jika itu terjadi, lagi dan lagi ia mengungkapkan kata maaf kepadaku.

Terkadang, aku merasa jenuh. Saat jenuh menghampiri, aku memilih untuk tidak mempedulikan Dencrist. pesan singkat, telepon bahkan chatting di sosial media darinya pun tak sekalipun ku gubris. Jika itu terjadi, maka sudah pasti aku beradu argumen dengannya. Soal sikap yang berbeda di antara kami berdua, soal perhatian di antara kami berdua yang semakin hari semakin berkurang selalu aku banding-bandingkan dengannya. Ah, aku benci dengan jarak. Menyiksa jiwa yang rindu, mencambuk hati yang rapuh akan harapan yang ingin lekas bertemu.

***

Naya, layaknya perempuan biasa. Terkadang aku melihatnya mengeluh di account sosial media yang ia miliki, sekedar kalimat sederhana yang ringkih atau sebait puisi yang amat banyak menggambarkan perasaannya yang gundah saat itu. Mengenai jarak yang selalu jadi permasalahan, mengenai kepercayaan yang takut di khianati, sampai kelelahan akibat kesabaran yang ia berikan padaku yang entah sampai kapan akan terus ia miliki. Semoga, semoga Naya ... kesabaranmu akan selalu ada dan muncul untukku, untuk hubungan ini, untuk cinta ini. Semoga!

Sempat terlintas dibenakku untuk merelakan Naya bebas dengan seseorang yang baru, tapi lagi dan lagi aku berpikir, apa mungkin, aku sanggup melihat perempuan yang selama ini aku cintai bahagia dengan lelaki lain selain aku?
Hati kecilku menjawab, tidak. Aku tidak harus melakukan hal konyol seperti itu. Melepaskan seseorang yang benar-benar aku cintai. Tapi aku tak bisa melihat ia bersedih saat merindukan aku. Sedih meratapi jarak yang ada diantara kami berdua. Maafkan aku, Naya ...

Berkali-kali kami bertengkar hebat. Pernah, tak sengaja Naya meminta maaf, karena sempat menduakan aku. Awalnya, aku anggap itu hanya candaan semata, yang hanya untuk membuatku khawatir dan kesal sesaat. Tapi, setelah ia melanjutkan ceritanya dan menjelaskan alasannya, disitu aku tersadar. Ternyata benar, benar Naya telah menduakan aku kemarin. Firasatku yang merasa ada hal yang disembunyikan olehnya, rasa curiga yang begitu besar tak seperti biasanya menjadi pertanda dan keyakinan, bahwa Naya memang benar telah menduakan aku. 

Sakit rasanya mendengar pengakuan itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur, Naya telah mengakui kesalahannya dan telah jujur meminta maaf padaku atas semua tingkah nya tempo hari. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk tetap mempertahankan hubungan ini. Hubungan yang mungkin tak tentu arah, hubungan yang mungkin tak selalu dipenuhi kebahagiaan yang kekal. Tapi aku yakin, suatu saat nanti kami akan memetik hasil dari hubungan yang penuh ujian dan perjuangan ini. Iya, pelaminan. Itu hasil yang ku harapkan dari hubungan kami, yang penuh dengan kejutan karena jarak.

***

Aku masih ingat, waktu itu kami berdua berjanji untuk bertemu di Bandung. Kebetulan saat itu libur hari tenang setelah UAS dan hari itu pun Dencrist libur, kami sepakat untuk kembali ke kota yang memiliki sejuta pesona yang dibalut kenangan. Aku sampai lebih dahulu di rumah orang tuaku, karena perjalanan Jakarta Bandung tak terlalu jauh. Sedang Dencrist masih menunggu keberangkatan pesawatnya beberapa jam lagi. Aku tak tahu apakah saat itu Dencrist benar-benar libur atau ia sengaja mengambil cuti, aku tak peduli yang penting sekarang ia bisa sampai dengan selamat disini dan bisa segera pergi ke bukit moko, agar segera bisa mengetahui kejutan yang kubuat khusus untuk menyambut kedatangannya. 

Aku telah membuatkan kue Brownies coklat untuk Dencrist, sejak dulu ia sangat menyukai makanan ini. Terlebih Brownies buatanku, ia sangat menyukainya. Ku masukkan beberapa potong Brownies kedalam kotak makanan, tak lupa ku selipkan kertas kecil di dalamnya, sekedar kata romantis untuk menambah rasa cinta kami agar semakin dalam. Semoga ia lahap menikmati kue ini dan bahagia membaca isi dari kertas yang ku tuliskan itu.
Tapi, tiba-tiba handphone ku berbunyi. Telepon dari Dencrist. Aku semangat memulai percakapan, berharap tahu dimana keberadaan Dencrist sekarang. Ku kira, ia menelepon untuk mengabari bahwa sebentar lagi ia akan sampai di Bandung. Ternyata dugaan ku meleset, ia menelepon hanya untuk meminta maaf padaku.

"Halo, Naya? Aku masih di bandara. Sayang, maaf. Maafkan aku karena tak bisa menepati janji. Untuk kali ini, aku batalkan janji kita. Aku batalkan janjiku untuk bertemu dengan mu. Maaf, semua diluar rencanaku. Baru saja aku ditelepon, aku mendapat tugas dadakan dari perusahaan. Ini urgent sayang, maaf aku terpaksa membatalkan ini semua. Semoga kamu mengerti ya, sayang ... Salam untuk mama dan papamu disana, I love you, Naya ..."
Mendengar apa yang di ucapkan Dencrist di telepon itu, aku hanya bisa menjawab "iya, aku tahu. aku mengerti" setelah itu aku diam dan ku biarkan Dencrist menutup teleponnya begitu saja. Saat itu, aku merasa dipermainkan. Merasa perempuan paling bodoh di muka bumi ini, apa yang kau pikirkan dan apa yang ada dipikiranmu, Naya?
Sudah jelas, ia sibuk. Tak bisa meluangkan waktunya untukku. Tapi mengapa aku mau untuk mengiyakan apa-apa yang ia inginkan?!
Disitulah aku mulai enggan padanya, mulai tak percaya pada setiap ucapan yang dilontarkan oleh mulutnya. Entah, apakah kami masih pantas bersama atau memang sudah harus mengakhiri ini semua.

Semenjak saat itu, aku mulai mencoba membuka hatiku untuk seseorang yang baru. Seseorang yang bisa mengalihkan kerinduanku kepada Dencrist, seseorang yang selalu ada dan nyata di hadapan ku. Meski terkadang masih tak bisa ku pungkiri, bahwa aku masih dan sangat merindukan Dencrist disini. Sesekali ia menaruh curiga terhadapku. terhadap perhatian ku yang berkurang, terhadap aku yang acuh pada kekhawatiran yang diberikan olehnya. Maafkan aku, Dencrist ... Aku tak bermaksud melukai mu, hanya ingin memberikan pembalasan padamu akan sakitnya di nomor duakan.

***

Serba salah, itu yang kurasakan saat ini. Aku terlalu takut akan apa-apa yang mungkin terjadi nanti. Aku takut akan kepergian, aku takut akan kehilangan, aku takut akan kesakitan, aku takut akan kekecewaan. Aku takut Naya akan mengkhianati ku (lagi) tapi aku takut terlalu mengekangnya akan larangan ini itu padanya. Oh, Tuhan .. apa yang pantas aku lakuan untuk menyelamatkan perasaan ini?

Aku berangsur-angsur memperbaiki semuanya, meski begitu sulit. Ku luangkan waktu di setiap harinya hanya untuk menelepon Naya, seperti saat pertama kami berjauhan karena jarak. Aku selalu intens memberinya kabar tentang keadaan ku, dan menanyakan kabar tentangnya. Meski terkadang Naya jarang membalasnya. Aku tak tahu, apakah semua usaha ini masih pantas dilakukan atau semua ini telah percuma untuk aku lakukan sekarang?!
Tak peduli, yang terpenting aku ingin mengobati rasa sakit hatinya Naya, karena keegoisan ku yang terlalu sibuk bekerja hingga mengacuhkan seseorang yang ku sayangi.

Entah, Naya mengerti atau tidak akan semua perubahan sikapku yang drastis ini. Mungkin ia risih, karena aku selalu ingin tahu kegiatan dan bersama siapa ia disana. Tapi, mengertilah Naya ... itu semua ku lakukan untuk menyelamatkan hubungan kita, untuk memperbaiki hati kita, untuk tetap membuat cinta itu ada diantara kita. Walaupun cara yang ku lakukan ini tak selalu benar dan mungkin salah.

***

Dencrist benar-benar membuatku heran. Sikapnya kekanak-kanakan kali ini, ia selalu melarang ku jika ingin berpergian dengan teman lelaki yang hendak membantuku. Padahal aku pergi dengan mereka hanya untuk mengerjakan tugas kampus, kepentingan project komunitas, tidak ada sama sekali niat untuk mengkhianati nya. Tapi tetap ia tak percaya padaku. Aku sungguh tersiksa akan tingkahnya akhir-akhir ini. Mungkin ini karma, mungkin ia takut. Takut dikecewakan oleh ku (lagi).

Aku hanya perempuan biasa, yang lemah menahan rindu yang tertahan berlama-lama. Hanya perempuan biasa, yang membutuhkan bukti bukan janji. Hanya perempuan biasa, yang ingin selalu di perhatikan oleh tindakan bukan sekedar oleh ucapan. Disini aku mencoba meredam emosi ku, mencoba menuruti keinginan Dencrist yang tidak mengijinkan ku untuk pergi bersama lelaki lain, meski hanya sekedar teman.

Pernah aku kesal, hingga mengucapkan kata-kata yang tak seharusnya aku lontarkan. Ia selalu melarang ku, ia cenderung mengekang ku, ia selalu menaruh rasa curiga di atas segalanya. Aku tahu, dibalik itu semua ada perang batin yang berkecambuk didalam hatinya. Ia tak ingin aku pergi bersama lelaki lain, ia tak ingin aku merasa kesepian. Tapi, ia juga tak bisa selalu bersamaku disini. Ia juga tak bisa menemani ku dan selalu memberikan perhatian yang nyata terhadapku, hingga akhirnya ia relakan aku menyelesaikan urusan dan tugas kuliahku dengan lelaki lain, meski dengan perasaan yang tak ikhlas dan penuh rasa curiga. Ia melarangku dengan yang lain, tapi ia juga tak bisa melakukannya untukku. Sungguh egois.

Tuhan, kapan semua ini berakhir?
Aku (mungkin  juga) Dencrist, sudah lelah disiksa oleh jarak yang nyata terbentang pada hubungan kami.
jika memang, ini yang terbaik untukku dan Dencrist adalah satu-satunya lelaki yang pantas untukku, aku ikhlas dan mencoba bersabar menghadapi semua yang akan terjadi nanti. Entah itu suatu perkara yang bisa memunculkan pertengkaran di antara kami (lagi) atau itu suatu kejutan yang kau berikan pada hubungan kami, agar kami tetap bersama.

Disini, aku mencoba tegar. Mencoba menerima semua kekurangan Dencrist dan memahami keadaan. Karena aku sadar, aku hanya seorang perempuan, seorang manusia, seorang mahluk yang diciptakan sang penguasa hidup, yang harus selalu terus berjuang mempertahankan apa-apa yang ku anggap pantas dipertahankan. Dan selalu mengharapkan ini semua tak sekedar harap semata, meski akhirnya (mungkin) semua akan kalah dan mengalah pada jarak. Semoga perjuangan kami tak sia-sia.

***
"Teruntuk engkau yang lelah disiksa jarak dan waktu, berjuanglah mempertahankan segala. Segala yang selama ini sempat membuatmu bahagia, berharga dan berarti. Tak perlu kau menaruh cemas pada jarak. Jarak memang tak pernah bisa kau rengkuh, namun selalu bisa kau tempuh. Jangan pernah mengekang dan menabur curiga padanya, kau tak perlu bersusah payah untuk hal itu. Cintamu yang terhalang jarak ibarat pasir, jangan pernah menggenggam pasir karena ia akan tetap jatuh disela jarimu. Tetaplah untuk menopangnya dengan tangan terbuka hingga ia benar-benar jatuh ditanganmu. Karena cinta percaya, karena cinta berjuang, karena cinta memahami, karena cinta bertahan dan mempertahankan."
                                                                                                               --- Di Antara Jarak ---