Minggu, 30 Agustus 2015

Patah.

Disaat jemari tak kuasa lagi menggenggam. Disaat yang ada dalam genggaman mulai berlari. Mungkin ia sudah bosan, hinga memilih pergi. Kemudian tak sengaja ku dengar suara dalam hati; patah.
Disaat waktu yang ku andalkan untuk bertemu tak bisa menghadiahkan rindu. Disaat sosok sempurna tanpa cacat seinci itupun tak dapat meluangkan sesuatu yang kusebut waktu. Mungkin ia sudah tak ingin melihatku, kemudian secara perlahan, ia pun memutuskan pergi. Kemudian untuk yang kedua kalinya, ada suara dalam hatiku; patah.

Ketika aku mulai berdiri, dan mencoba berlari untuk meninggalkan semua. Ketika itu juga aku terseret ke lingkaran waktu, waktu saat masih tertanam kata bersama. Aku gagal, tak paham cara melupakan dan melarikan diri dari sosoknya. Kenangannya indah menyilaukan, membuatku terbuai hidup dalam angan-angan semu. Padahal, dia sudah jauh pergi. Lagi-lagi hatiku mengeluarkan suara; patah.
Ketika aku mulai tenang. Ketika itu juga aku merasa sepi. Hatiku seakan kosong tak berpenghuni. Padahal, sudah jelas-jelas penghuni terdahulu tak layak untuk menempati hati ini. Tetapi, tetap saja aku kurang waras untuk meyakini bahwa ia sudah pergi. Suara dalam hatiku semakin keras terdengar; patah.

Semua telah berlalu. Membuang apa-apa yang tak pantas untuk dijaga. Hanya aku sendiri yang masih keras kepala, menjaga apa-apa yang telah lama hancur berserakan, berantakan, berkeping-keping hingga tak jelas rupa. Kembali, hatiku bersuara; patah.
Semua telah tertawa. Maaf, maksudku semua tengah menertawakan ku. Yang masih meyakini seseorang yang tengah pergi akan kembali. Dan mereka teriak "tak mungkin!". Disitu hatiku terkoyak, suara itupun kembali terdengar; patah.

Berkali-kali aku tertatih. Berkali-kali kurasakan letih, pada semua yang menyeruak masuk kedalam labirin-labirin pikiranku hanya untuk membuatku kembali mengenang ia yang telah pergi. Untuk apa kau masih datang mengganggu? Tak tahukah engkau, bahwa aku lemah menghadapi kenyataan ini? Saat itu, hatiku teriak; patah.
Berkali-kali bayangannya menggoda kewarasanku. Mengajakku bermain dengan apa-apa yang masih menjadi harapku. Sungguh kejam. Tak hentinya ia mengganggu, memasung diriku yang tengah terbujur kaku tersiksa karena masa lalu. Sering aku berontak, bergumam padanya "Pergilah, aku tak membutuhkanmu. Aku bisa mengobati dan memperbaiki semuanya (meski) tanpamu. Pergi jika memang itu inginmu. Aku merestui". Dan hatiku masih merasakan sakit, tersadar terlalu sering aku membiarkannya patah. Semenjak saat itu, tak lagi ku dengar suara dalam hati ini; patah.



Sabtu, 22 Agustus 2015

Perempuan Dan Tangisannya.

Redalah. Wahai air suci yang menetes dari indera penglihatan. Tak letihkah, engkau mendera dan membasahi pipinya? 
Bisakah, kau mengering?
Kasihan, ia tak mempunyai apapun atau siapapun untuk membasuhmu. Ia terlalu malu untuk mengakui luka yang masih menganga di dadanya. Tangis!

Tangisannya, tak mampu mengubah segala tentang mu. Semesta tahu itu. Tapi setidaknya, tangislah yang mampu menenangkan hatinya walau sementara. 
Jika hendak menyentuh hatinya, engkau salah, Tuan. Percuma. Hatinya hanya tinggal kepingan, mungkin karena seringnya ia terluka atau dilukai.

Entah siapa yang tega melakukan itu, Tuan. Yang ku tahu, ia senang bertemankan tangis setiap malam. Seolah memanen kesakitan yang diperolehnya.
Tapi tenangkan dirimu, Tuan.
Aku lihat, ia cukup memegang kendali di hidupnya. Ia mampu berdiri, berlari (lagi) walau kadang terjatuh (lagi).

Tuan, jika kau ingin memberi penawar bagi kesakitannya. Datanglah, tak perlu meragu. Barang kali, selama ini engkaulah yang ia harap dan ia cari.