Sabtu, 11 Januari 2014

Kepergian Garin


Selalu ada celah untuk berbalik arah. Selalu ada cara untuk kembali. Selalu ada jalan untuk pulang. Iya, selalu ada. Selalu ada saja alasan untuk kembali mengecap cinta dan merengkuh rindu yang ku simpan rapih untuk mu, di palung hati ini. Dikala hangatnya mentari, sejuknya embun, teduhnya suasana senja, sepinya malam yang kulewati, aku masih saja bisa meluangkan waktu ku yang tak seberapa ini hanya untuk memanggil namamu dalam puja puji yang ku panjatkan padaNya. Iya, kamu masih menjadi topik utama disetiap hari-hariku.

Sudah 1825 hari, aku terbuai dalam angan-angan semu. Angan-angan yang mampu menerbangkan aku ke atas langit ketujuh dan dengan seketika aku jatuh. Jatuh ke lapisan bumi paling dasar, gelap dan kelam. Aku masih bisa mengingat mu, masih sangat mampu mengingat mu. Meski aku tak pernah tahu, apakah disana kamu mengingatku? Apakah kamu ingat padaku? Mungkinkah kamu mengingatku, walau seperti angin yang berhembus pelan dan berlalu begitu saja dihadapan mu?! Pernah?!
Kurasa tidak! Mana mungkin seseorang sepertimu, bisa peduli dengan perempuan seperti aku yang hanya berperan sebagai figuran didalam kisah cintamu.

Aku masih ingat saat kamu datang kepadaku. Seperti bocah lelaki yang lemah, yang amat sangat memerlukan tempat berlindung dari kegelisahan hidup.
Saat itu hujan turun deras. Aku selalu merasa cukup hangat diam di kamar apartement mungil ini, menikmati secangkir kopi hangat sambil menyaksikan petir yang menyambar. Apakah negeri diatas awan sana sedang bertengkar?

"Gita, gita !!" suara lelaki yang ku dengar memanggilku sambil mengetuk pintu.
"Iya, tunggu sebentar" bergegas ku rapikan rambut yang terurai ini dengan jari-jari tanganku. Ku bukakan pintu untuk lelaki yang badannya basah kuyup karena hujan.
"Mengapa tidak mengabari ku terlebih dahulu?" tanyaku
"Apa aku harus memberitahu perihal kedatanganku padamu? Bukankah sudah biasa, aku mengunjungimu seperti ini? Seperti tidak kenal saja." Garin menjawab pertanyaanku sambil tersenyum kecil.
"Ini, ku pinjamkan T-shirt untukmu! Keringkan dulu badanmu, ganti pakaian mu, aku takut kamu masuk angin mengenakan pakaian basah seperti itu."
Garin hanya membelai rambutku, bergegas ia mengganti pakaian. Sementara aku, langsung pergi ke dapur. Sekedar menyediakan dua cangkir kopi yang tak terlalu manis dan setoples crackers untuk melengkapi sore yang diderai hujan ini.

Garin Mahardika Albian, lelaki bertubuh proporsional dengan perawakan putih bersih, memiliki kumis tipis dan selalu menyambutku dengan aroma parfume Black Code dari Giorgio Armani. Aroma maskulin oriental yang segar, namun hangat ini terdiri dari campuran aroma lemon segar dan bergamot, bunga zaitun, kayu Guaiac, dan biji tonka yang selalu membuatku asyik berlama-lama berada didekatnya. Iya setidaknya hingga saat ini, aku masih nyaman berada didekatnya. Ia laksana candu bagi hidupku, ia laksana madu pemanis jalan kehidupanku, Ia laksana semua hal yang ku butuhkan untuk bertahan hidup.

"Gita, Gita .." Ia memanggilku sangat lembut, suara yang selalu aku rindukan
"Iya, sebentar .. Aku sedang membuatkan kopi untukmu." Segera aku aduk kopi, dan bergegas datang mendekatinya. "Ini silahkan diminum!" menyodorkan secangkir kopi untuknya.
Garin langsung menyeruput kopi buatanku dan berkata "Sama seperti kopi yang selalu kau buatkan untukku. Aroma dan rasanya pekat, tidak begitu manis." kembali ia memberikan senyuman.
Aku menghela napas "Kenapa? bukankah kamu biasa dengan rasa kopi yang seperti itu? Atau apa kamu sudah tidak menyukai kopi buatan ku lagi?" 
"Tidak, tidak! bukan itu maksudku. Aku selalu menyukai setiap apapun yang kamu lakukan dan perbuat. Begitupun dengan kopi ini, aku tak perlu banyak gula yang manis dalam cangkir ini, cukup dengan melihat senyummu saja, itu sudah terasa manis bagiku!" 
ah, shit !!! Garin mulai mengeluarkan rayuan murahannya untuk membuatku kepayang setengah mati. Inilah aku, perempuan yang sangat mudah bahagia meski hanya dengan rayuan yang menurut orang lain biasa saja. Tapi jika itu yang keluar dari mulut seseorang yang amat sangat kamu dambakan, rasanya pasti luar biasa bukan?! Iya, tak mungkin biasa.

"Sudah hentikan! Aku tak akan termakan rayuan murahan seperti itu. Ada perlu apa kamu mengunjungiku?"
"Hahaha, kamu masih saja ketus menghadapiku! Gita, gita ... kamu selalu menjadi perempuan yang ada didalam otakku!" Untuk kesekian kalinya ia mengelus-mengelus rambutku. Jika sudah seperti itu, aku tak bisa berkutik. Aku hanyut kedalam palung yang dalam hingga dasar, sulit untuk beranjak dari pelukannya. Merebahkan kepala di dada bidangnya, mendengarkan setiap nafas yang ia eluhkan, menghitung setiap detak jantungnya, itulah yang selalu aku inginkan dan rindukan.
Disaat seperti ini, kami selalu menciptakan atmosfer hangat didalam ruangan apartement ku yang mungil ini. sesekali kami hias dengan gelak tawa, bahkan tak lupa kami berikan kebisuan untuk ruangan ini. Dimana hanya ada impian dua orang keturunan adam dan hawa yang bermimpi dapat saling memiliki satu sama lain, tanpa harus memikirkan norma dan perbedaan yang ada.

"Mmmm, Gita..."
Deg ! jantungku berhenti sejenak, lidahku pun kelu, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutku. Tatapannya tajam, aku sengaja membiarkan bahasa tubuhnya yang berbicara. Ia mengecup keningku, hingga melumat lembut bibirku.
"Maaf, tak seharusnya aku melakukan itu padamu." Seketika Garin sadar atas perlakuannya terhadapku.
"Kamu kenapa, garin?"
"Tak seharusnya aku seperni ini, maafkan aku Gita!" Ucapnya lagi, penuh penyesalan
"Apa kamu menyesal telah, memanjakanku saat ini?" Tanyaku 
"Bukan seperti itu, bukan itu maksudku. Mengapa diantara kita selalu penuh dengan kesalahpahaman? Disaat aku mengenalmu, dekat denganmu, nyaman denganmu, bahkan mulai mencintaimu selalu saja salah dimata dunia. Apa aku tak pantas mendapatkan hal yang aku inginkan, hal yang selalu aku impikan dan pikirikan?" 
Pertanyaannya semakin membuatku geram "Cukup, hentikan Garin! Hentikan menyalahkan dan membenci dirimu sendiri. Bukan kamu yang salah, tapi aku!"
"Kamu, mengapa kamu berkata seperti itu?" Garin penasaran dengan ucapanku
"Ya, aku yang salah. Aku yang salah, yang selalu membiarkanmu mencari dan mengunjungiku. Aku yang keliru, yang tak bisa meredam keinginan untuk memilikimu seutuhnya. Aku yang egois, yang selalu membiarkan rasa ini tumbuh setiap harinya. Padahal kamu tak selalu ada untukku, tak selalu menemani setiap tangisku, tak selalu meredakan setiap rinduku. Aku yang bodoh, yang masih mengharapkan kamu yang sudah resmi menjadi suami perempuan lain." Entah apa yang ada didalam pikiranku, yang kurasa saat itu hanya ketenangan. Tenang telah meluapkan keluh yang telah bersarang lama dihati.
"Maafkan aku, Gita. Maaf, aku tak bisa meyakinkan orang tua ku untuk memilihmu sebagai pendamping hidupku. Tapi, percayalah Gita. Hingga saat ini kamu satu-satunya perempuan yang selalu ada dalam pikiranku !"
"Bohong, kamu hanya menjadikanku pelarian disaat kau penat dengan kehidupanmu bersama perempuan itu. Aku hanya ada didalam pikiranmu, tak pernah ada didalam hatimu! Kamu bebas, mengelus-elus rambutku, menyentuhku, bahkan melumat bibirku. Kamu pikir aku apa ?!"
"Itu semua ku lakukan untuk menunjukkan rasaku terhadapmu, seharusnya kamu mengerti itu!" Pertama kalinya, dia membentakku. Matanya berkaca-kaca, mungkin didalam dadanya sedang terjadi sebuah perdebatan yang hebat antara keinginan dan kenyataan yang terjadi disini.
Aku tahu Garin. Didalam hatimu mungkin kau menginginkan aku. Tapi semua orang juga tahu, kalau aku dan kamu takkan pernah bisa bersatu. Takkan pernah ada kata "kita" diantara kita. Dan mungkin kamu juga tahu, aku selalu menginginkan mu lebih dari kamu menginginkan ku. Saat kamu menciumku, aku hanya terdiam merasakan kesungguhan cinta dari sentuhan bibirmu. Aku tak ingin bersembunyi dibalik kemunafikkan, sejujurnya aku selalu menginginkan itu. Maka dari itu aku selalu membiarkanmu untuk menyentuh dan memanjakanku.

Ini gila, selalu dan selalu seperti itu. Disaat dia rapuh dengan semua keadaan, dia selalu mencariku dan berteduh dibawah atap cintaku. Sebagai perempuan yang selalu mencintainya dalam keadaan apapun, aku bisa apa?
haaah ... aku tak bisa menolaknya disaat dia menceritakan kehidupannya yang rumit, yang harus tinggal seatap bersama perempuan yang sama sekali tidak dia cintai selama hampir 3 tahun. Betapa sulitnya dia disaat menuruti keinginan orang tuanya yang terkadang selalu berbeda dengan keinginannya. Betapa sulitnya dia menekan ego, rasa rindu yang semakin hari semakin meletup-letup hingga memuncak didalam dadanya, disaat dia harus menahan rindu padaku.

Tak seharusnya dia mengunjungiku saat sore itu, tak seharusnya juga aku selalu membukakan pintu apartment dan hatiku disaat dia mengetuk. Kami terlalu lemah, kami terlalu larut dalam keadaan yang penuh ketidakpastian. Tanpa hubungan yang jelas, tanpa status yang jelas, tanpa restu yang jelas aku selalu bertahan dan mempertahankan puing-puing yang ada meski berserakan.
Semenjak perdebatan hebat disore itu, Garin pamit pergi meninggalkanku. Dia tak mau lagi menyakitiku dengan caranya mencintaiku. Dengan terpaksa, aku mengiyakan keputusannya untuk meninggalkanku. Sejak saat itu juga, aku belajar untuk merelakan apa yang sulit untuk direlakan, mengikhlaskan apa yang takkan mungkin di ikhlaskan. Garin pergi.

Aku sadar, tak semua orang bisa menerima masa laluku. Sebagai seorang janda yang pernah gagal menjalani mahligai rumah tangga, siapa yang bisa mencintaiku dengan tulus? hanya Garin!
Mungkin apa yang dikatakan Garin sore itu adalah kejujuran, hanya Garin yang mau dekat dan tahu semua tentangku hingga jatuh cinta padaku. Tapi tidak dengan orang tuanya, yang takkan pernah memberi restu padaku untuk menemani hidup Garin. Belum lagi dengan keyakinan kami yang berbeda. Garin seorang muslim, sedangkan aku cristiani, amat sulit bukan untuk menyatukan kami?!
Seandainya dia bisa lebih berjuang untuk mempertahankan ku. Seandainya aku bisa lebih berjuang untuk menahan keegoisan ku. Mungkin saat ini, aku dan dia sedang duduk bedua menikmati kopi hangat sambil melihat buah hati kami yang sedang tertidur pulas. Hahaha, semua perihal kedatangan dan kepergiannya takkan pernah aku lupakan. Untuk Garin, jika kamu ingin kembali, ku harap kembalilah pada hati yang lemah ini. Yang masih mengharapkan mu untuk kembali.


2 komentar:

  1. waduuhh memang sulit itu, harus pilih salah satu :D

    BalasHapus
  2. Mungkin, atau bahkan sama sekali tidak memiliki pilihan.
    Terima kasih Tuan, sudah menyempatkan membaca cerpen ini :)

    BalasHapus