Kamis, 20 Februari 2014

Celotehan Ara

Untuk jemari yang menggenggam harapan.

"Selamat Pagi" terdengar suara perempuan yang menyapa dunia dari kotak persegi berhiaskan kaca yang ia buka perlahan.
"Selamat pagi mentari, semoga takkan pernah letih memberikan kehangatan untuknya. Sepertiku yang tak pernah letih memandang dan berlama-lama merindukannya!" Ucapnya dengan nada penuh harap

Entah, sudah kesekian kalinya aku mendengar do'a dan harapan yang selalu ia selipkan ditiap-tiap kegiatan yang ia lakukan. Saat menyapa dunia di pagi hari. Saat sepulang sekolah di siang hari. Saat senja bahkan malam hari. Perempuan ini selalu asyik dengan khayalannya sendiri. Seperti memiliki dunia sendiri, dunia yang selalu ku dengar penuh dengan angan. Angan menjadi permaisuri yang berharap akan dipinang oleh sang pangeran yang ia puja selama ini. Terkadang aku suka menertawakan semua kalimat yang ia ucapkan, bukan sekali dua kali saja aku melihat dan mendengarkan celotehannya pergi terbawa angin. Lucu, perempuan yang hidup bahagia dalam angan.

"Aku bingung!" bisiknya pada dunia
"Mengapa semua berkata 'Lebih baik dicintai dari pada mencintai'? Apa hidup manusia itu terlalu dan selalu egois, sehingga semua orang ingin dicintai tanpa harus mencintai seseorang?" Selidiknya
"Akupun!" Ucapnya pada dunia
"Akupun ingin merasakan indahnya dicintai oleh seseorang. Sama seperti mereka." Ungkapnya kepadaku, seolah-olah ia tahu bahwa selama ini selalu ada aku, yang menjadi pendengar setianya.

Aku selalu ingin menjadi orang pertama yang tahu sesuatu tentang perempuan berambut lurus sebahu ini. Walau mungkin kehadiranku takkan pernah disadari olehnya. Aku cukup mengetahui semua hal yang terjadi dan dirasakan oleh hati perempuan ini. Kalau tidak salah, nama perempuan ini Laras. Aku sering memanggilnya Ara.
Ara, selalu menghadirkan sebuah topik hidup yang baru. Yang rajin ia bagi pada dunia. Tak peduli sinar matahari yang panas menyengat kulit sawo matangnya, tak peduli angin yang berhembus perlahan, yang terkadang membuat kertas-kertas di meja belajarnya berserakan dilantai. Ara pun tak pernah peduli pada hujan yang turun dikala senja, ia tetap membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Yang sering ku perhatikan, ia selalu berharap dan setia menunggu pelangi yang tiba setelah hujan.

Lagi, ia membuka daun jendelanya perlahan.
"hmmm" kudengar ia menghirup udara di senja ini.
"Lembayung itu selalu terlihat damai, keindahannya mutlak, selalu membekas dihati." Ucapnya pada dunia (lagi)

Aku, melihat pancaran penuh harap dari dua bola matanya. Apa yang kau harapkan di senja sore ini, wahai Ara?

"Aku, tak ingin dicintai. Meski selalu orang-orang mengatakan 'lebih baik dicintai dari pada mencintai'. Iya, aku tak ingin seperti itu!" Ucapnya tegas

Aku mengkernyitkan dahi, bukankah beberapa hari yang lalu ia berkata, bahwa ia juga ingin dicintai. Ada apa denganmu, Ara?
Aku tetap diam, menanti perkataan yang keluar dari mulutnya lagi.

"Aku tak ingin dicintai, Tuhan... Yang aku inginkan, aku dapat mencintai seseorang yang dapat mencintaiku.Yang aku inginkan, aku dapat dicintai oleh seseorang yang dicintai olehku. Sehingga tidak akan ada, tidak akan aku rasakan dan tidak akan aku mengenal kata bertepuk sebelah tangan. Aku ingin, semua beriringan."

Aku terenyuh mendengar ucapannya kali ini, cukup sederhana yang ia inginkan. Aku pun ingin seperti itu, wahai Ara.
Setelah ia berceloteh, perlahan air matanya jatuh. Sungguh, ingin rasanya ku usap air mata dari kedua pipimu, wahai Ara. Tapi Ara seorang perempuan yang tegar, segera ia usap air mata itu. Segera ia ganti dengan lengkungan senyum hangat dari bibirnya. Lekas ia tutup daun jendela kamarnya rapat-rapat.
Dalam diam, aku selalu mendo'akan mu. Mengucap jampi-jampi pada Tuhan, meminta segala kebaikan yang terbaik untuk mu, wahai Ara.. :')

Ara yang ku kenal dulu hingga sekarang, penuh akan tanda tanya. Terkadang ia bersemangat berkata pada dunia tentang kebahagiaan yang terjadi disetiap hari-harinya. Terkadang ia marah-marah, mengomel tak jelas meluapkan kemarahannya bila ada suatu hal yang tak sesuai dengan harapannya. Jika sudah seperti itu, ingin rasanya aku membelai rambutnya sambil berkata,

"Tak semua. Tak semua yang terjadi didunia ini, harus selalu sama persis dengan apa yang kau inginkan, harapkan dan kau dambakan, Ara .... Karena ini adalah kehidupan, sang penguasa waktu yang mengatur. Dan kita selaku mahluk ciptaannya harus berbesar hati menerima keadaan. Itu alasan mengapa kau tak boleh egois, bahkan pada diri sendiri pun, kau tak boleh egois."

Ingin, ingin sekali rasanya melakukan hal itu dan mengucapkan kalimat itu pada Ara. Tapi aku tersadar, karena semua itu tak mungkin terjadi. Aku hanya bisa memandang sosoknya dari kejauhan dan aku hanya bisa menjadi pendengar setianya. Entah sampai kapan!

Sudah bertahun-tahun aku mengenal Ara. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, kini Ara telah menjadi perempuan dewasa. Aku perhatikan, setiap harinya ia semakin sibuk. Apalagi dengan benda yang sering ia bawa kemana-mana, camera. Iya, sekarang Ara selalu berteman dengan camera. Mungkin karena sekarang ia kuliah dan mengambil jurusan design dan fotography, entahlah aku tak terlalu paham mengenai hal ini. Yang pasti, yang sekarang aku tahu, Ara sudah jarang berceloteh dan membuka jendela kamarnya lagi. Jangankan untuk berceloteh tentang kesehariannya, untuk menyapa dan mengucapkan selamat pagi saja ia sudah jarang melakukannya. Sepertinya, ia sudah menemukan kebahagiaan. Sepertinya.

Aku tetap berdiri diluar. Tegap. Masih mencuri-curi pandang pada jendela kamar yang selalu menjadi tempat untukku melihat sosok Ara. Tak peduli panas, angin, hujan bahkan petir yang memberikan getir pada hidupku. Aku tetap berdiri. Menanti celotehan Ara, tentang sapaan dipagi hari atau cerita-cerita nostalgia hidupnya di tempo dulu. Tapi, aku hanya bisa menunggu. Berkali-kali ku menoleh kearah yang sama.
ah, sial ! Ara menutup tirai kamarnya, lagi-lagi aku tak bisa melihat parasnya. Untuk kesekian kalinya.

Hari ini hujan kembali membasahiku, mungkin juga Ara. Ku lihat ia berlari sambil memegang cameranya, seolah melindungi benda itu dari air yang datang bergerombol. Jika saja aku bisa melakukan hal yang sama. Hal yang kau lakukan pada camera itu, Aku pun ingin melakukannya. Iya, aku pun!
Aku ingin selalu ada dan bisa melindungimu, Ara ...
Berbagi kisah dan berceloteh denganmu, berbagi ucapan-ucapan bahagia, berbagi kata-kata resah nan gelisah. Ah, seandainya aku bisa melakukan itu denganmu :'(

---------

Senja di bulan Februari, saat angin bersemilir dihadapanku. Aku mendapati Ara sedang membuka daun jendela kamarnya.
Betapa bahagianya aku, wahai Ara sang pujaanku. Aku memfokuskan pendengaranku untuk mencerna apa yang ia katakan pada dunia saat ini. Tapi berbeda dengan waktu yang lalu, untuk kali pertama ia terlihat layu, tak ada suara yang tercetus, nampak bibirnya kelu, penuh bisu. Tidak, tunggu sebentar. Kulihat Ara membuka mulutnya, sepertinya ia sedang berbicara. Entah apa yang ia katakan, aku tak bisa fokus mendengarkan setiap kata yang Ara ucapkan. Keadaan disini sungguh bising, tak seperti biasanya.

Ku coba, memperhatikan Ara (lagi), celoteh apalagi yang ia bagi pada dunia. Tidak, aku tak bisa mendengarkan celotehan Ara untuk yang kedua kalinya. Entah apa yang terjadi, aku merasa lemah dibagian akar. Padahal jelas aku masih kokoh berdiri disini, memperhatikan Ara.

Sial, tiba-tiba saja dibagian perutku terasa geli yang lama kelamaan berubah menjadi rasa sakit. Ku coba palingkan pandangan dari sosok Ara. Aku berpaling pada tubuhku. Oh, Tuhan ... Sebentar lagi aku akan roboh, habis tubuhku disentuh gigi gergaji mesin yang bergerigi itu.
Sakit, sakit .... perih, rasanya sangat getir. Ara ....

Aku hanya sebatang pohon rindang yang selalu mengharap bisa memberikan keteduhan untuknya, Umurku sudah habis, sudah tiada.
Sosokku telah dihancurkan oleh mesin gergaji itu, mungkin waktuku untuk melihat dan mendengarkan celotehanmu sudah habis.

Terima kasih untuk setiap kata yang kau rangkai dan kau perdengarkan pada dunia, aku takkan pernah berhenti berharap untuk dapat melihat mu (kembali) dengan seseorang pangeran yang kau puja itu. Masih. Aku masih berharap, walau kini tubuhku sudah tergeletak ditanah tempat dimana aku berdiri dan melihatmu sedari dulu.

Tiada lagi aku yang berdiri tegak didepan jendela kamarnya. Tiada lagi suara merdu yang berceloteh ria setiap pagi, siang dan malam.
Aku sedih, disaat kepergianku, aku tak bisa mendengarkan celotehanmu, Ara ...


Picture From demetereka.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar